Dalam keadaan genting, mereka yang berkepentingan akan kelangsungan hidup haruslah menyisakan waktu untuk menyimak seluruh masalah dan memilah perkara inti dan sampingan, jalan keluar semu dan tidak, jebakan berbahaya atau gerak tipu. Waktu yang disisakan itu namanya khalwat politik, dan aneka masalahnya tampil seperti berikut.
1. Kalau Bima masuk lewat lobang telinga Dewaruci, dan dalam perjalanan menuju kedalaman lautan itu dia bersapa dengan aneka warna alam semesta, tujuan akhir yang hendak dicapai adalah warna yang bukan warna, yakni putih. Tidak ada lagi perbedaan antara aku dan non aku, antara hamba dan gusti. Khalwat semacam ini dilakukan ketika orang Jawa menjauhi “bantal lan guling”. Ketika seorang sufi menenggelamkan diri dalam dzikir dan mengulang sejuta-kali kata keabadian dan ketakterbatasan, perjalanan khalwat itu akan bermuara pada hati yang bening setelah malam yang panjang, dan alam dunia akan tampak semata sebagai wajah Allah atau perwujudan keabadian yang tidak mungkin untuk dibiarkan kotor. Ketika seorang fakr tidur diatas paku dan mengucap sejuta kali mantra yang memadai, maka ujung akhir dari perjalanan itu adalah tubuh yang bukan tubuh lagi. Ketika seorang bikshu melipat kaki dalam posisi lotus, dan mengosongkan jiwa dengan memusatkan batin pada kesemantaraan alam semesta, pencapaian yang hendak direngkuh adalah satori, atau pencerahan jiwa bahwa alam selalu tak abadi, tak bisa direngkuh.
Khalwat batin terjadi karena pengalaman universal adanya diri yang terbelah, dan selalu memerlukan rekatan baru.
Khalwat politik bukan khalwat batin. Tetapi kata “tidak” bukan berarti beseberangan, apalagi memusuhi atau memandang tidak ada dan tidak perlu. Khalwat politik yang mudah dicatat dalam sejarah barat adalah ketika di akhir abad XV kekuasaan paus sudah mencapai titik tertinggi dan sekaligus terendahnya, ketika agama katolik sudah merampungkan proses konsolidasi politik dengan melakukan dua gerakan: di satu pihak menyapu dunia non eropa khususnya Amerika Latin lewat program gold, glory and gospel, namanya conquistador, dan di Eropa sendiri sambil katolisisme dilucuti oleh Martin Luther, proses purifikasi dilakukan lewat inkuisisi, alias penghancuran bidaah secara total. Masa krisis eropa pra kapitalis ini diwarnai oleh tiga pilar, di satu pihak hegemoni paus, di lain pihak runtuhnya konstantinopel oleh serbuan Turki dan mulai lahirnya renaissance di Italia atas nama Machiaveli.
Tiga pilar krisis inilah yang melahirkan perkumpulan khalwat di awal modernitas yang dilakukan oleh bekas tentara Spanyol, Ignatius de Loyola, dan lahirlah persekutuan Jesuit. Artinya umat akan bangkrut jika tidak ada sejumlah kecil umat yang mampu menyimak duduk perkara masalah secara mendalam, dan membentuk persekutuan, lalu melancarkan tindakan. Pusat kajian tidak lagi hanya di dalam tembok biara, tetapi melebar dan membentuk universalitas yang baru, namanya universitas!
Pengabdian pada ilmu pengetahuan ini yang pada gilirannya memungkinkan tumbuhnya keanekaragaman ilmu dan sekaligus memperkokoh otoritas teologi. Sehingga di tengah abad XVII lahir dokumen paling penting dalam sejarah peradaban modernitas, yakni munculnya nasionalisme (1648), dan di akhir abad itu juga serbuah Turki sudah berhasil dijinakkan dalam perjanjian Carlowitz (1699). Di dalam ruang politik seperti inilah perkumpulan Jesuit mengembangkan khalwat politiknya di universitas yang bertumbuh pesat, dan sumpek di benua yang kecil itu ekspansi keluar dilakukan dibawah program yang baru rampung di tengah abad XX: kolonialisme!! Disiplin di tiga ranah inilah yang sampai hari ini dikenal sebagai tumpuan masyarakat modern: rohani, ilmiah dan akumulasi harta serta kuasa.
Ketika Pandawa kalah judi [merasa terkecoh pula] dan masuk ke hutan, pertapaan mereka adalah tapa politik sebelum kurusetra dibuka kembali. Ketika Sukarno, Hatta dan Sjahrir dibuang ke luar Jawa, pertapaan mereka adalah khalwat politik. Ketika kaum nasionalis diredam di boven Digul, pembuangan mereka adalah pemusnahan gagasan. Ketika pulau Buru dibuka karena penjara di Jawa sudah sesak, yang terjadi bukan khalwat dan renungan, tetapi semata salah faham, salah langkah dan penyebaran dendam untuk hal yang sia-sia.
Khalwat politik jenis yang mana yang untuk masalah hari ini diperlukan dan mutlak perlu?
2. Nasionalisme kita sebaiknya dicermati bukan sebagai sebuah gumpalan dan hasil akhir perkembangan setempat yang bhineka menjadi eka, tetapi tak lain dari sebuah gagasan, cita-cita dan blue print yang diangkut dari eropa. Sebuah proses top-down. Begitu juga negara kita yang kesatuan, negara itu bukan hasil dari proses pertarungan untuk membuka sebuah ruang yang dihuni oleh warga negara, tetapi adalah sebuah ruang kosong teritorial dan kultural yang dibangun oleh pax neerlandica, lalu diambil oleh Jepang dan dimaklumatkan oleh dwuitunggal bahwa negara baru sudah lahir sesuai dengan hukum internasional, begitu sejumlah negara bekas jajahan memberikan anggukan setuju pada proklamasi. Negara Indonesia adalah efek dari sistem hukum Internasional.
Bangsa dan negara kita adalah hasil cetak ulang dari sebuah blue print impor, yang selama ini ditopang oleh tiga pilar seperti ini.
Pilar pertama adalah TNI yang merasa diri sebagai pewaris paling layak untuk mengurusi negara, karena militer Indonesia tidak diciptakan oleh sipil, tetapi langsung lahir dari revolusi. Namanya sebuah historical legacy. Sebagai catatan harus dimengerti bahwa pembedaaan konseptual dan kategorial antara sipil dan militer sekaligus juga adalah gagasan impor!
Pilar kedua adalah ranah batin warga masyarakat yang dari awalnya merupakan antipoda dari kaum kolonialis yang kristen, maka seperti mengulang konflik eropa, di sini juga dimamah biak gagasan bahwa Islam adalah asli dan yang lain adalah kurang asli. Sebagai catatan harus ditambahkan bahwa di Nusantara tidak ada yang asli, karena negeri ini adalah negeri lintasan. Masalah yang berkembang di seputar masalah ini, sekali lagi dengan meniru pola yang blue print diambil dari luar, adalah soal sekularisme dan teokrasi.
Dan pilar ketiga yang selama ini dianggap menjadi pengikat semua saja yang tinggal di negeri tak lain adalah kaum nasionalis yang menjaga persatuan dan kesatuan. Seperti sudah disebutkan di depan, bangsa dan negara yang kita kenal inipun, gagasan dan bentuk pelembagaannya juga sekedar dirakit dari bahan yang diimpor.
Ketiga pilar tersebut adalah pilar politik: kekerasan, rohani dan jiwa modern.
3. Sejak lima tahun ini ketiga pilar ini sudah tampak roboh.Jika TNI tidak melakukan reoreintasi dan reposisi yang menyeluruh, akan menjadi masalah luar biasa besar karena TNI akan menjadi tak lebih rendah atau lebih tinggi dari perkumpulan lulusan akademi yang lain, mulai dari akademi bahasa sampai akademi pimpinan perusahaan. Historical legacy yang dipaksakan lewat dwifungsi sudah dengan sendirinya lenyap dimakan usia, dan terus melemah fungsi strategis militer dalam pikpinan nasional.
Sementara roh yang mendalam sudah semakin jelas dijadikan salah satu bahan dagangan politik, sehingga agama tak lebih dari menjadi sebuah usus buntu yang mengganggu. Kedalaman digantikan oleh fashion dan talkshow.Kaum agama belum sepenuhnya mampu untuk meletakkan filsafat dan pemikiran politik kenegaraan yang dapat diterima oleh semua unsur dari bangsa yang kompleks dan majemuk. Kecenderungan untuk mengambil jalan pendek untuk mengembail model dari Timur Tengah masih terlalu kuat. Sedangkan kaum nasionalis hanya sibuk berebut warisan yang tak jelas wujud dan letaknya disimpan, sehingga yang muncul adalah pengulangan dan pendangkalan. Dan lebih parah lagi, karena kesadaran ideologi semakin tumpul dan kecedasan politik semakin menurun, kelompok nasional hanya hidup dari ingatan dan tidak mampu menyelesaikan tugas nyata yang hari ini di pundak mereka.
Dalam topografi politik seperti itu, khalwat politik seperti apa yang hendak dilakukan ? Khalwat artinya adalah perenungan suatu masalah tak semata dari segi manfaat dan praktis, tetapi lebih pada pergulatan nilai eksistensial, yang lalu menjadi dasar dari gerak pemikiran dan tindakan yang lebih matang, menyeluruh dan benar.
Seperti rapat perusahaan lajim diwarnai dengan SWOT, gerakan politik yang lajim juga dibingkai dalam “ideologi, organisasi dan kesempatan” juga meletakkan gerakan politik setara dengan gerakan cari makan. Lalu khalwat politik ini akan memusat pada swot atau pada analisa tiga ranah politik yang lajim itu? Analisa pada tiga ranah artinya masuk dalam kerumitan struktural yang menjadi kerumitan bangsa dan negara! Atau seperti perkumpulan Jesuit yang muncul diawal modernitas di tengah krisis jaman klasik? Jesuit adalah perkumpulan dalam agama, tetapi khalwat politik adalah pemikiran dan perenungan mengenai kekuasan yang amat jauh dari kebenaran Atau sejenis pandawa yang mengungsi ke hutan dan bersiap untuk kembali menegakkan kebenaran? Atau sejenis zazen yang dilakukan oleh samurai yang mengosongkan diri dalam olah batin, dan menggantikan fungsi politik dan militer pendeta budha, membangun bakufu dan setelah dua setengah abad mampu membuka negeri dan membaratkan diri lewat reformasi dan diteruskan dengan Pearl Harbour ?
Hanya harus diingatkan, salah langkah yang tidak boleh terjadi adalah menyamaratakan khalwat batin dan khalwat politik, dan lebih parah lagi meletakkan kedua jenis khalwat dalam posisi berseberangan yang atau ini atau itu. Kedua jenis khalwat ini berdiri atas tumpuan yang sama: menjaga keteraturan di tengah alam yang kering dan tandus disapu oleh runtuhnya keteraturan yang lama dan belum lahirnya keteraturan yang baru. Khalwat mutlak dilakukan dalam masa inter regnum! Seperti terjadi di tanah air kita hari ini.
4. Arah khalwat yang manapun akan ditempuh, dari pengalaman ditemukan ada paling tidak empat hal dasar yang harus dicegah dan dihindarkan dari salah paham:
Tidak yang pertama adalah tidak berlakunya hubungan guru/murid. Semua peserta adalah guru dan murid, dan kalaupun ada seseorang yang menjadi sumber acuan, dari saat ke saat sumber acuan harus hilang dan tidak boleh diperhitungkan lagi. Pelanggaran hal ini akan menjadikan khalwat politik menjadi pertemuan tarikat.
Tidak kedua adalah harapan akan hasil ketrampilan yang nyata. Sebab dasar khalwat adalah menjadikan diri sebagai “time space traveller”, yang artinya adalah memahami dengan penuh sejarah dan masyarakat atau topografi politik. Pelanggaran akan keharusan menjadi pengembara ini akan menjadikan peserta sekedar sebagai sekrup dalam organisasi yang hendak dibangun dan hanya mengenali politik praktis.
Tidak ketiga adalah meletakkan sasaran pada identifikasi musuh dan kawan, sebab khalwat adalah usaha untuk mengenali dimana jebakan mematikan itu ditemukan, lalu menghindar. Seperti pusat pusaran palung di laut selatan selalu bergerak, topografi politik Indonesia juga menyiapkan liang kubur untuk mereka yang gegabah merenangi samudra. Pelanggaran akan pasal ini akan menjadikan pekerja politik terpenjara dan terkecoh dalam structural constraint yang akan memaksa siapa saja untuk jalan ditempat, dan mematikan peradaban.
Tidak yang terakhir adalah menjadikan khalwat itu sejenis olah diri untuk mendapatkan tenaga tambahan. Khalwat akan menemukan titik akhirnya jika semua peserta tidak mendapatkan apa-apa untuk dirinya sendiri, tetapi menemukan kenyataan bahwa jari yang menunjuk bulan bukanlah rembulan. Dalam politik artinya adalah penglihatan bahwa medan politik adalah sebuah zwischen raum, ruang antara, dan bukan substansi yang berupa energi, kekuasaan atau jabatan. Jika hal terakhir tidak diperhatikan, selamanya kita akan tetap dikurung dalam politik aliran dan golongan yang sudah aus dan bersifat racun untuk kesehatan kita bersama.
Keempat pokok masalah itu hanyalah beberapa segi saja yang tak bisa tidak harus dimengerti dengan baik. Agar pekerjaan yang dilakukan dengan bersungguh nantinya hanya bermuara pada rasa tanpa arah dan sia-sia. Dan contoh sebuah kerangka kerja untuk penyelidikan yang tuntas atas masalah politik nasional dapat dilihat pada tulisan “Anarkhi” yang berikut.
0 komentar:
Posting Komentar