A.Pendahuluan
Pendidikan merupakan bagian dari perjalanan hidup umat manusia yang ingin maju. Pendidikan adalah salah satu aspek dalam Islam dan menempati kedudukan yang sentral, karena peranannya dalam membentuk pribadi muslim yang utuh sebagai pembawa misi kekhalifahan. Allah telah membekali manusia dengan akal ( kemampuan rasio ) dan al – Qur’an memberi dukungan yang kuat bagi usaha manusia untuk meningkatkan standard kehidupan.
Pendidikan juga termasuk pendidikan Islam merupakan instrumen bagi manusia untuk mengembangkan potensi dasar yang dianugerahkan Tuhan. Fungsi pendidikan yang utama adalah mentransformasikan pengetahuan, keterampilan, dan menginternalisasi nilai-nilai yang dibutuhkan manusia untuk bisa hidup sempurna sebagai manusia. Dari sudut pandang manusia, pendidikan adalah proses sosialisasi, yakni memasyarakatkan nilai-nilai, ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam kehidupan. Emile Durkheim, dalam karyanya, Education and Sociology (1956) mengatakan bahwa pendidikan merupakan produk manusia yang menetapkan kelanggengan kehidupan manusia itu sendiri, yaitu mampu hidup konsisten mengatasi ancaman dan tantangan masa depan.
Mengenai pendidikan Islam, ia merupakan sebuah institusi sosial yang menjadi bagian integral dari masyarakatnya. Sebagai sebuah institusi sosial, pendidikan secara ideal memiliki fungsi budaya, yaitu untuk melestarikan dan mengembangkan sistem nilai masyarakat. Sebagai suatu organized intelligence, ia menjadi centrum dari berbagai kecerdasan yang diorganisasi untuk menghasilkan sebuah masyarakat yang beradab.
Mengingat bahwa pendidikan adalah ilmu normatif, maka fungsi institusi pendidikan adalah menumbuh-kembangkan subyek didik ke tingkat yang normatif lebih baik, dengan cara/jalan yang baik, serta dalam konteks yang positif. Disebut subyek didik karena peserta didik bukan merupakan obyek yang dapat diperlakukan semaunya oleh pendidik, bahkan seharusnya dipandang sebagai manusia lengkap dengan harkat kemanusiannya. Menurut Freire, fitrah manusia sejati adalah menjadi pelaku atau subyek, bukan penderita atau obyek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindasnya. Dunia dan realitasnya bukan "sesuatu yang ada dengan sendirinya", dan karena itu "harus diterima menurut apa adanya", sebagai suatu takdir atau nasib yang tak terelakkan. Manusia harus menggeluti dunia dan realitas dengan penuh sikap kritis dan daya cipta, dan itu berarti manusia mampu memahami keberadaan dirinya.
Oleh karena itu, pendidikan harus berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri, dan harus mampu mendekatkan manusia dengan lingkungannya. Adanya beberapa bentuk kekerasan dalam pendidikan yang masih merajalela merupakan indikator bahwa proses atau aktivitas pendidikan kita masih jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah urgensi humanisasi pendidikan. Humanisasi pendidikan merupakan upaya untuk menyiapkan generasi yang cerdas nalar, cerdas emosional, dan cerdas spiritual, bukan menciptakan manusia yang kerdil, pasif, dan tidak mampu mengatasi persoalan yang dihadapi.
Bertitik tolak dari permasalahan tersebut diatas, maka tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengungkapkan tentang pengertian humanisasi dalam pendidikan, orientasi pendidikan Islam dan paradigma pendidikan Islam humanis.
B.Pengertian Humanisasi atau Humanisme dan Pendidikan
Dalam kamus ilmiah populer arti dari kata humanisasi adalah pemanusiaan/penerapan rasa perikemanusiaan. Sedangkan humanisme adalah suatu doktrin yang menekan kepentingan-kepentingan kemanusiaan dan ideal (humanisme pada zaman renaissans didasarkan atas peradaban Yunani purba, sedangkan humanisme modern menekankan manusia secara eksklusif). Humanisasi bagi Malik Fadjar berimplikasi pada proses kependidikan dengan orientasi pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia, yakni aspek fisik-biologis dan ruhaniah-psikologis. Aspek rohaniah-psikologis inilah yang dicoba didewasakan dan di-insan kamil-kan melalui pendidikan sebagai elemen yang berpretensi positif dalam pembangunan kehidupan yang berkeadaban.
Makna kemanusiaan harus selalu dirumuskan secara baru dalam setiap perjumpaan dengan realitas dan konteks yang baru. Kemanusiaan perlu dilihat bukan sebagai esensi tetap atau situasi akhir. Makna kemanusiaan adalah proses menjadi manusiawi dalam interaksi antar manusia dengan konteks dan tantangan yang terus berkembang. Humanisme dipandang sebagai sebuah gagasan positif oleh kebanyakan orang. Humanisme mengingatkan kita akan gagasan-gagasan seperti kecintaan akan peri kemanusiaan, perdamaian, dan persaudaraan. Tetapi, makna filosofis dari humanisme jauh lebih signifikan; humanisme adalah cara berpikir bahwa mengemukakan konsep peri kemanusiaan sebagai fokus dan satu-satunya tujuan. Dengan kata lain, humanisme mengajak manusia berpaling dari Tuhan yang menciptakan mereka, dan hanya mementingkan keberadaan dan identitas mereka sendiri. Kamus umum mendefinisikan humanisme sebagai sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan pada berbagai nilai, karakteristik, dan tindak tanduk yang dipercaya terbaik bagi manusia, bukannya pada otoritas supernatural manapun”.
Sebagaimana dapat kita lihat, humanisme nyaris identik dengan ateisme, dan fakta ini dengan bebas diakui oleh kaum humanis. Terdapat dua manifesto/pernyataan penting yang diterbitkan oleh kaum humanis di abad yang lalu. Yang pertama dipublikasikan tahun 1933, dan ditandatangani oleh sebagian orang penting masa itu. Empat puluh tahun kemudian, di tahun 1973, manifesto humanis kedua dipublikasikan, menegaskan yang pertama, tetapi berisi beberapa tambahan yang berhubungan dengan berbagai perkembangan yang terjadi dalam pada itu. Ribuan pemikir, ilmuwan, penulis, dan praktisi media menandatangani manifesto kedua, yang didukung oleh Asosiasi Humanis Amerika yang masih sangat aktif.
Jika kita pelajari manifesto-manifesto itu, kita menemukan satu pondasi dasar pada masing-masingnya; dogma ateis bahwa alam semesta dan manusia tidak diciptakan tetapi ada secara bebas, bahwa manusia tidak bertanggung jawab kepada otoritas lain apa pun selain dirinya, dan bahwa kepercayaan kepada Tuhan menghambat perkembangan pribadi dan masyarakat. Enam pasal pertama dari Manifesto Humanis adalah; Pertama; Humanis memandang alam semesta ada dengan sendirinya dan tidak diciptakan. Kedua; Humanisme percaya bahwa manusia adalah bagian dari alam dan bahwa dia muncul sebagai hasil dari proses yang berkelanjutan. Ketiga; Dengan memegang pandangan hidup organik, humanis menemukan bahwa dualisme tradisional tentang pikiran dan jasad harus ditolak. Keempat; Humanisme mengakui bahwa budaya religius dan peradaban manusia, sebagaimana digambarkan dengan jelas oleh antropologi dan sejarah, merupakan produk dari suatu perkembangan bertahap karena interaksinya dengan lingkungan alam dan warisan sosialnya. Individu yang lahir di dalam suatu budaya tertentu sebagian besar dibentuk oleh budaya tersebut. Kelima; Humanisme menyatakan bahwa sifat alam semesta digambarkan oleh sains modern membuat jaminan supernatural atau kosmik apa pun bagi nilai-nilai manusia tidak dapat diterima. Keenam; Kita yakin bahwa waktu telah berlalu bagi ateisme, deisme, modernisme, dan beberapa macam “pemikiran baru”.
Dari definisi humanisme di atas, nampak sekali para humanis menganggap bahwa manusia adalah segala pusat aktifitas dengan meninggalkan peran Tuhan dalam kehidupannya. Hal ini berbeda dengan Islam yang meyakini ada kekuatan lain pada diri manusia yaitu pencipta alam ini. Humanisme yang dimaksud didalam Islam adalah memanusiakan manusia sesuai dengan perannya sebagai khalifah di bumi ini. Al-Qur`an menggunakan empat term untuk menyebutkan manusia, yaitu basyar, (QS. al-Baqarah, 2:187 ) al-nas,( QS. al-Hujurat, 49:13) bani adam (QS. al-Isra, 17:70) dan al-insan (QS. al-Dzariyat , 51:56). Keempat term tersebut mengandung arti yang berbeda-beda sesuai dengan konteks yang dimaksud dalam al-Qur`an.
Dari beberapa ayat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia itu makhluk yang sempurna. Kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya yaitu dari mulai proses penciptaannya (QS. al-Sajdah, 32:7-9, al-Insan, 76:2-3), bentuknya (QS. al-Tin, 95:4) serta tugas yang diberikan kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi (QS. al-Baqarah, 2:30-34, al-An`am, 6:165) dan sebagai makhluk yang wajib untuk mengabdi kepada Allah (QS. al-Dzariyat, 51:56).
Begitu tingginya derajat manusia, maka dalam pandangan Islam, manusia harus menggunakan potensi yang diberikan Allah kepadanya untuk mengembangkan dirinya baik dengan panca inderanya, akal maupun hatinya sehingga benar-benar menjadi manusia seutuhnya.
Kata Humanisasi atau humanisme kemudian apabila disandingkan dengan kata pendidikan, maka akan nampak pengertian bahwa sistem kerja dari proses sebuah pendidikan haruslah mengedepankan dan mementingkan aspek-aspek kemanusiaan. Istilah pendidikan, dalam bahasa Inggris disebut dengan Education adalah berasal dari bahasa latin Educere berarti memasukkan sesuatu, barangkali bermaksud memasukkan ilmu ke kepala seseorang. Dalam bahasa Arab beberapa istilah yang biasa dipergunakan dalam pengertian pendidikan. Biasa dipergunakan dengan kata ta’lim. Juga kata tarbiyah dipergunakan untuk pendidikan, seperti firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat 24. Disamping itu kata ta’dib dipergunakan dalam istilah pendidikan, seperti disebutkan dalam hadits Rasulullah saw, yang berbunyi “Allah mendidikku, maka Ia memberiku sebaik-baik pendidikan”.
Walaupun ketiga istilah pendidikan seperti telah disebutkan diatas, bisa dipergunakan dengan pengertian yang sama. Al-Attsa, 1980 berpendapat bahwa ta’lim hanya berarti pengajaran, jadi lebih sempit dari pendidikan. Dengan kata lain kata ta’lim hanyalah sebagian dari pendidikan. Sedang kata tarbiyah, yang lebih luas digunakan oleh negara-negara Arab, terlalu luas. Sebab kata tarbiyah juga digunakan untuk binatang dan tumbuh-tumbuhan dengan pengertian memelihara atau membela, menternak, dan lain-lain lagi. Sedang pendidikan yang diambil dari education itu hanya untuk manusia saja.
Sehingga menurut Al-Attas, kata ta’dib lebih tepat digunakan dalam penerapan istilah pendidikan, karena ta’dib tidak hanya dalam arti sempit mengajar saja dan tidak meliputi makhluk lain selain manusia, jadi ta’dib sudah meliputi kata ta’lim dan tarbiyah. Selain daripada itu kata ta’dib itu erat hubungannya dengan kondisi ilmu dalam Islam yang termasuk dalam sisi pendidikan. Kemudian selanjutnya jika term “pendidikan” dikontekskan dengan kata “Islam” bukan hanya proses transmisi atau alih budaya, ilmu, pengetahuan dan tekhnologi, tetapi juga sebagai proses penanaman nilai, karena tujuan pendidikan Islam adalah menjadikan manusia bertakwa untuk mencapai kesuksesan (al-falah) dunia dan akherat.
Sampai disini, barangkali dapat dipahami bahwa pendidikan Islam haruslah mengutamakan aspek-aspek manusiawi, karena hal itu merupakan tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri, yaitu menjadikan manusia bahagia di dunia dan di akherat. Dengan pendidikan manusia bisa menghargai dan memahami manusia lainnya sehingga terciptalah kondisi dimana dengan pendidikan manusia bisa memanusiakan lainnya.
C.Orientasi Pendidikan Islam
Beberapa pengamat pendidikan Islam mengatakan bahwa rumusan tujuan pendidikan Islam lebih pada upaya kebahagian di dunia dan diakherat, menghamba diri kepada Allah, memperkuat keislaman, melayani kepentingan masyarakat Islam, dan akhlak mulia. Sehingga terkesan bahwa tekanan utama dari tujuan pendidikan Islam adalah pada usaha membimbing kearah kepribadian muslim, yaitu manusia yang berilmu, beriman, beramal shalih, manusia yang berfikir, bersikap, bertindak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang lebih bersifat metafisik.
Dengan kerangka ini, dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan Islam bukan seharusnya “bagaimana membuat manusia sibuk mengurus dan memuliakan Tuhan saja dan justru melupakan kepekaannya terhadap kemanusiaan”, tetapi sesungguhnya tujuan pendidikan Islam adalah “memuliakan dengan sibuk memuliakan manusai dan dunianya” serta memuliakan dan memperdayakan manusia dengan segala potensi yang dimilikinya.
Tujuan pendidikan Islam yang ada sekarang ini, dirasakan tidaklah benar-benar kearah tujuan positif, tetapi tujuan pendidikan Islam hanya diorientasikan kepada kehidupan akherat semata dan cenderung bersifat difensif, yaitu supaya menyelamatkan kaum muslimin dari pencemaran dan pengrusakan yang ditimbulkan oleh dampak gagasan Barat yang datang melalui berbagai disiplin ilmu, terutama gagasan-gagasan yang mengancam akan meledakkan standar-standar moralitas tradisional Islam. Implikasinya, rumusan tujuan pendidikan Islam bertujuan untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengalaman peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia yang muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt. Serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Terlihat bahwa rumusannya lebih bersifat normatif dan tidak bersifat problematik.
Dalam pelaksanaan pendidikan Islam, apabila dicermati sebenarnya, seluruh model pendidikan Islam, baik itu pesantren, sekolah Islam dan pendidikan agama Islam di sekolah umum, tujuan utama membentuk pribadi muslim yang bertakwa, berakhlak mulia, cerdas, terampil, dan memiliki etos kerja yang tinggi untuk bekerja di masyarakat. Tujuan ini berlaku bagi semua tingkat dan jenjang pendidikan Islam. Tetapi ironisnya, hinggga kini belum ada sistem evaluasi yang dapat dijadikan ukuran apakah ketakwaan, kepribadian muslim, dan akhlak mulia telah dicapai. Evaluasi tujuan metafisik ini seperti model evaluasi lainnya yaitu terfokus pada “kemampuan kognisi” peserta didik atas ilmu-ilmu agama tanpa teori yang dapat menjelaskan hubungan antara penguasaan ilmu agama dengan kepribadian muslim, ketakwaan, dan akhlak mulia.
Ada beberapa pendapat beberapa tokoh pendidikan Islam yang senada dengan ungkapan diatas mengenai defenisi pendidikan Islam, diantaranya adalah :
a.Muhammad Fadlil al-Jamali. Pendidikan Islam adalah proses yang mengarahakan manusia kepada kehidupan yang mengangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar (fithrah) dan kemampuan ajarnya.
b.Omar Mohammad al-Toumy. Pendidikan Islam adalah usaha mengubah tingkah laku dalam kehidupan, baik individu maupun bermasyarakat serta berinteraksi dengan alam sekitar melalui proses kependidikan berlandaskan nilai Islam.
c.Muhammad Munir Mursyi. Pendidikan Islam adalah pendidikan fitrah manusia, karena Islam adalah agama fitrah, maka segala perintah, larangan dan kepatuhannya dapat mengantarkan mengetahui fitrah ini.
d.Hasan Langgulung. Pendidikan Islam adalah suatu proses spiritual, akhlak, intelektual dan sosial yang berusaha membimbing manusia dan memberinya nilai-nlai, prinsip-prinsip dan teladan ideal dalam kehidupan yang bertujuan mempersiapkan kehidupan dunia akherat.
Dengan demikian, “pendidikan Islam” adalah segala upaya atau proses pendidikan yang dilakukan untuk membimbing tingkah laku manusia baik individu maupun sosial, untuk mengarahkan potensi baik potensi dasar (fithrah) maupun ajar yang sesuai dengan fithrahnya melalui proses intelektual dan spiritual berlandaskan nilai Islam untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat.
Menurut hemat penulis, bahwa tujuan dari pendidikan Islam belumlah dikatakan istimewa, karena proses yang diolah hanyalah aspek kognisi saja, bagaimana manusia itu selamat dari pengaruh-pengaruh yang tidak sesuai dengan konteks agama, sehingga terkesan terlalu egoistis. Mengapa egosistis, karena upaya untuk menjadikan manusia memiliki keimanan dan akhlak mulia tidaklah cukup untuk menghadapi problematika dan banyaknya tantangan yang akan dihadapi manusia, jika bekal tersebut tidak di barengi dengan aspek-aspek lain seperti karya dan terampil “psikomotoriknya”. Bahwa pendidikan Islam hendaknya tidaklah hanya menekankan kepada aspek theosentris saja tetapi aspek anthroposentris sebagai realitas yang harus dihadapi dalam keberlangsungan dari proses pendidikan yang pasti akan di temui.
D.Paradigma Pendidikan Islam Humanis
Semangat penalaran dalam intelektualisme Islam masa lalu kini telah digantikan dengan tradisi mengekor (taqlid,). Demikian ungkap Ziaudin Sardar. Bukti dari fenomena ini adalah jarangnya penemuan-penemuan baru selama kurun ini dari lintas disiplin keilmuan, meski banyak pemikir-pemikir yang lahir, paling banter karya yang muncul adalah karya lanjutan tokoh-tokoh terdahulu, tidak ada yang benar-benar baru. Hal ini diperparah dengan peta politik dunia yang dimotori Barat yang berideologi sekuler melalui institusi-institusi modern yang masuk ke dunia Islam. Sebab internal inilah yang membuat Abdul Hamid Abu Sulaiman dalam Jurnal ‘Islamization of Knowledge with special Reference of Political Science’ (1985), berkomentar bahwa krisis multidimensi yang dialami umat Islam karena disebabkan beberapa hal antara lain; kemunduran umat (the backwardness of the ummah), kelemahan umat (the weakness of the ummah), stagnasi pemikiran umat (the intelectual stagnation of the ummah), absennya ijtihad umat (the absence of ijtihad in the ummah), absennya kemajuan kultural ummat (the absence of cultural progress in the ummah), tercerabutnya umat dari norma-norma dasar peradaban Islam (the ummah losing touch with the basic norm of islamic civilization).
Menurut Ali Ashraf, model pendidikan dengan tekanan pada transfer ilmu dan keahlian daripada pembangunan moralitas akan memunculkan sikap individualistis, skeptis, enggan menerima hal-hal non-observasional dan sikap menjauhi nilai-nilai Ilahiyah yang bernuansa kemanusiaan. Akibat lebih jauh, model pendidikan ini akan menghasilkan manusia mekanistik yang mengabaikan penghargaan kemanusiaan yang jauh dari nilai imajinatif, kreatif dan kultural. Kenyataan inilah yang menyebabkan kearifan, kecerdasan spiritual, kesadaran manusia terhadap makna hidup, lingkungan sosial dan alamnya menjadi gagal tumbuh dan akhirnya akan mati dan menciptakan ketegangan kemanusian seperti demen konflik dan perang, krisis nilai etis, dislokasi, alienasi, kekosongan nilai rohaniah dan sebagainya. Untuk itu, pendidikan Islam harus mampu mengantarkan manusia menuju kesempurnaan dan kelengkapan nilai kemanusiaan dalam arti yang sesungguhnya sebagai suatu sistem pemanusiawian manusia yang unik, mandiri dan kreatif sebagaimana fungsi diturunkannya al Qurán sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas bagi petunjuk itu serta pembeda antara yang benar dan yang salah (Q.S. al-Baqarah/2 : 185). Al Hasil, Al-Qur'an berperan dalam meluruskan kegagalan sistem pendidikan yang terjebak pada proses dehumanisasi.
Tujuan akhir pendidikan dalam Islam adalah proses pembentukan diri peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya. Hal ini meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan -terutama peserta didik- untuk mengembangkan diri dan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Pada masa kejayaan Islam, pendidikan telah mampu menjalankan perannya sebagai wadah pemberdayaan peserta didik, namun seiring dengan kemunduran dunia Islam, dunia pendidikan Islam pun turut mengalami kemunduran. Bahkan dalam paradigma pun terjadi pergeseran dari paradigma aktif-progresif menjadi pasif-defensif. Akibatnya, pendidikan Islam mengalami proses “isolasi diri” dan termarginalkan dari lingkungan di mana ia berada.
Dari gambaran masa kejayaan dunia pendidikan Islam di atas, terdapat beberapa hal yang dapat digunakan sebagai upaya untuk kembali membangkitkan dan menempatkan dunia pendidikan Islam pada peran yang semestinya yakni memanusiakan manusia atau humanisasi sekaligus menata ulang paradigma pendidikan Islam sehingga kembali bersifat aktif-progresif, yakni :
Pertama, menempatkan kembali seluruh aktifitas pendidikan (talab al-ilm) di bawah frame work agama. Artinya, seluruh aktifitas intelektual senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai agama Islam, di mana tujuan akhir dari seluruh aktifitas tersebut adalah upaya menegakkan agama dan mencari ridla Allah,sebagaimana firman Allah SWT; Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya al-Qur`an itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus. (QS. Al-Hajj, 22: 54).
Kedua, adanya perimbangan (balancing) antara disiplin ilmu agama dan pengembangan intelektualitas dalam kurikulum pendidikan. Salah satu faktor utama dari marginalisasi dalam dunia pendidikan Islam adalah kecenderungan untuk lebih menitik beratkan pada kajian agama dan tidak memberikan porsi yang berimbang pada pengembangan ilmu non-agama, bahkan menolak kajian-kajian non-agama. Oleh karena itu, penyeimbangan antara materi agama dan non-agama dalam dunia pendidikan Islam adalah sebuah keniscayaan jika ingin dunia pendidikan Islam kembali survive di tengah masyarakat. Al-Qur`an banyak menjelaskan didalam ayat-ayat kauniahnya agar manusia memikirkan dan mengkaji alam semesta ini, bagaimana langit ditinggikan, bumi dihamparkan, gunung-gunung ditegakkan, manusia diciptakan dan lain sebagainya. Hal ini mengindikasikan agar umat Islam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, tidak dibatasi hanya mempelajari ilmu-ilmu agama. Dan Nabi Muhammad pun memerintahkan para sahabat untuk menuntut ilmu ke negeri China. Hal ini sebagai dasar perintah dari Nabi agar umat Islam mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan umum, karena China dikenal pada saat itu sebagai negeri yang memiliki para ahli pengobatan atau tabib.
Ketiga, perlu diberikan kebebasan kepada civitas akademika untuk melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal karena selama masa kemunduran Islam, tercipta banyak sekat dan wilayah terlarang bagi perdebatan dan perbedaan pendapat yang mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan intelektual. Kalaulah tidak menghilangkan, minimal membuka kembali, sekat dan wilayah-wilayah yang selama ini terlarang bagi perdebatan, maka wilayah pengembangan intelektual akan semakin luas yang tentunya akan membuka peluang lebih lebar bagi pengembangan keilmuan di dunia pendidikan Islam pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya.
Keempat, mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang membumi. Artinya, strategi yang dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan di mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan. Selain itu, materi-materi yang diberikan juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, setidaknya selalu ada materi yang applicable dan memiliki relasi dengan kenyataan faktual yang ada. Dengan strategi ini diharapkan pendidikan Islam akan mampu menghasilkan sumber daya yang benar-benar mampu menghadapi tantangan zaman dan peka terhadap lingkungan.
Kumudian, satu faktor lain yang akan sangat membantu adalah adanya perhatian dan dukungan para pemimpin (pemerintah) atas proses penggalian dan pembangkitan dunia pendidikan Islam ini. Adanya perhatian dan dukungan pemerintah akan mampu mempercepat penemuan kembali paradigma pendidikan Islam yang aktif-progresif, yang dengannya diharapkan dunia pendidikan Islam dapat kembali mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana pemberdayaan dan humanisasi.
E.Kesimpulan
Dalam Islam, paradigma pendidikan yang dipakai adalah persenyawaan antara anthroposentris dan theosentris. Artinya proses perkembangan moral manusia itu didasari nilai-nilai islami yang dialogis terhadap tuntutan Tuhan, tuntutan dinamika sosial, dan tuntutan pengembangan fitrah lebih cenderung kepada pola hidup yang harmonis antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, serta kemampuan belajarnya disemangati oleh misi kekhalifahan dan penghambaan. Nilai-nilai kemanusiaan berakar pada penciptaan manusia. Manusia tercipta sebagai makhluk dinamis yakni manusia terus menerus berkembang dan berubah setiap saat.
Berdasarkan tesis ini, maka nilai-nilai kemanusiaan juga mengalami perkembangan dan perubahan pula. Nilai-nilai kemanusiaan itu berubah sejalan dengan perubahan waktu. Berubah berarti mengalami pergeseran, yaitu bergeser dari satu tahapan menuju ke tahapan yang lain, dari satu tingkatan menuju ke tingkatan berikutnya. Dimensi theosentris (hablun min Allâh) dan anthroposentris (hablun min al-nâs) adalah dua dimensi bagaikan dua sisi mata uang. Kesalehan seseorang kepada Tuhan tidaklah dianggap cukup jika tidak disertai dengan kesalehannya kepada sesama manusia dan makhluk lainnya. Dengan demikian, dimensi anthroposentris dan dimensi theosentris pada hakikatnya mewujudkan kesejahteraan anthroposentris. Rasa kemanusiaan yang terpisah dari rasa ketuhanan akan menjadikan manusia memberhalakan manusia. Makna sejati dari kemanusiaan itu sendiri terletak pada kebersamaannya dengan ketuhanan. Demikian juga rasa ketuhanan tidak akan memperoleh makna yang luhur bila tidak diikuti dengan rasa kemanusiaan.
Ada beberapa prinsip tentang manusia yang dapat dijadikan landasan bagi kepentingan pendidikan Islam yang humanis yaitu: pertama, manusia (peserta didik) adalah makhluk termulia yang melebihi makhluk-makhluk lain seperti malaikat, jin, setan, dan hewan. Karena itu, dalam proses pendidikan, para guru lebih mendahulukan strategi pembelajaran yang memanusiakan manusia daripada yang bersifat pemaksaan. Kedua, manusia memiliki kemampuan berfikir dan permenungan. Ia dapat menjadikan alam sekitarnya sebagai objek renungan, pengamatan, dan arena tempat menimbulkan perubahan yang diingini. Manusia adalah makhluk yang mampu melakukan self-reflection, ia mampu keluar dari dirinya dan menengok ke belakang, kemudian mengadakan penelitian dan permenungan. Ketiga, ada perbedaan perseorangan. Yakni bahwa masing-masing manusia memiliki ciri khas tersendiri berdasarkan potensi yang dimilikinya, baik lahir maupun batin. Menelaah manusia hanya pada satu sisi, akan membawa pada stagnasi pemikiran tentang manusia, sekaligus menjadikannya obyek yang statis. Keempat, manusia dalam kehidupannya dipengaruhi dan bersosialisasi dengan faktor-faktor bawaan dan alam lingkungan, terutama lingkungan sosial. Manusia membutuhkan sosialisasi di antara mereka. Hubungan antar manusia didasari oleh hubungan kekhalifahan, kebaikan, dan egaliter. Manusia lain dipandang sebagai pribadi yang harus dipersilakan mengembangkan dirinya. Kelima, Manusia dalam kebebasannya mengolah spiritualitasnya untuk dapat menyadari eksistensi Tuhan. Menyadari eksistensi Tuhan akan melahirkan tanggung jawab kepada Sang Ilahi. Menurut Andreas Harefa, lahirnya tanggung jawab itu karena didorong oleh adanya kesadaran mengenai hakikat diri sebagai makhluk langit, makhluk moral spiritual (moral spiritual being) dan tidak hidup hanya untuk minum dan makan.
Pendidikan bukan hanya memberikan keleluasaan terhadap pengabdian spiritual, melainkan yang lebih penting lagi harus memungkinkan terselesaikannya berbagai peristiwa tragis kemanusiaan seperti penindasan, pembodohan, teror, radikalisme, keterbelakangan, dan permasalahan lingkungan. Agar wacana kemanusiaan tanpa kekerasan tetap dikedepankan dalam pendidikan, kurikulum harus menyajikan materi yang memungkinkan bagi tumbuhnya sikap kritis bagi peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Rosyadi, Khoiron. 2004. Pendidikan Propetik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Thoib, Ismail. 2008. Wacana Baru Pendidikan, Meretas Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Genta Press.
Malik Fadjar, Malik. 2004. Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Encarta, World English Dictionary, 1999, Microsoft Corporation Developed for Microsoft by Bloomsbury Publishing.
www.jjnet.com/archives/documents/humanist.htm.
Langgulung, Hasan. 2003. Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru.
_______________. 2004. Manusia dan Pendidikan, Yogyakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru.
Soeroyo, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun 2000, dalam Muslih USA (ED.), 1991. Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Arifin, HM. 1991. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
Mohammad al-Toumy al-Syaebany, Omar. 1979. Falsafah Pendidikan Islam Jakarta: Bulan Bintang.
Munir Mursyi, Muhammad. 1977. Al-Tarbiyah al-Islamiyah, Cairo: Dar al-Kutub.
Qadir, C. A. 1991. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Ilyas, Yunahar dan Azhar, Muhammad. 1999. (ed.), Pendidikan dalam Perspektif al-Qur'an, Yogykarta : Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) UMY.
Sholeh, A Khudhori. 2003. Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta : Jendela.
website Pendidikan Network, judul Artikel Melacak Paradigma Pendidikan Islam.
Suyudi, H.M. 2005. Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an, Yogyakarta: Mikraj
Pendidikan merupakan bagian dari perjalanan hidup umat manusia yang ingin maju. Pendidikan adalah salah satu aspek dalam Islam dan menempati kedudukan yang sentral, karena peranannya dalam membentuk pribadi muslim yang utuh sebagai pembawa misi kekhalifahan. Allah telah membekali manusia dengan akal ( kemampuan rasio ) dan al – Qur’an memberi dukungan yang kuat bagi usaha manusia untuk meningkatkan standard kehidupan.
Pendidikan juga termasuk pendidikan Islam merupakan instrumen bagi manusia untuk mengembangkan potensi dasar yang dianugerahkan Tuhan. Fungsi pendidikan yang utama adalah mentransformasikan pengetahuan, keterampilan, dan menginternalisasi nilai-nilai yang dibutuhkan manusia untuk bisa hidup sempurna sebagai manusia. Dari sudut pandang manusia, pendidikan adalah proses sosialisasi, yakni memasyarakatkan nilai-nilai, ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam kehidupan. Emile Durkheim, dalam karyanya, Education and Sociology (1956) mengatakan bahwa pendidikan merupakan produk manusia yang menetapkan kelanggengan kehidupan manusia itu sendiri, yaitu mampu hidup konsisten mengatasi ancaman dan tantangan masa depan.
Mengenai pendidikan Islam, ia merupakan sebuah institusi sosial yang menjadi bagian integral dari masyarakatnya. Sebagai sebuah institusi sosial, pendidikan secara ideal memiliki fungsi budaya, yaitu untuk melestarikan dan mengembangkan sistem nilai masyarakat. Sebagai suatu organized intelligence, ia menjadi centrum dari berbagai kecerdasan yang diorganisasi untuk menghasilkan sebuah masyarakat yang beradab.
Mengingat bahwa pendidikan adalah ilmu normatif, maka fungsi institusi pendidikan adalah menumbuh-kembangkan subyek didik ke tingkat yang normatif lebih baik, dengan cara/jalan yang baik, serta dalam konteks yang positif. Disebut subyek didik karena peserta didik bukan merupakan obyek yang dapat diperlakukan semaunya oleh pendidik, bahkan seharusnya dipandang sebagai manusia lengkap dengan harkat kemanusiannya. Menurut Freire, fitrah manusia sejati adalah menjadi pelaku atau subyek, bukan penderita atau obyek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindasnya. Dunia dan realitasnya bukan "sesuatu yang ada dengan sendirinya", dan karena itu "harus diterima menurut apa adanya", sebagai suatu takdir atau nasib yang tak terelakkan. Manusia harus menggeluti dunia dan realitas dengan penuh sikap kritis dan daya cipta, dan itu berarti manusia mampu memahami keberadaan dirinya.
Oleh karena itu, pendidikan harus berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri, dan harus mampu mendekatkan manusia dengan lingkungannya. Adanya beberapa bentuk kekerasan dalam pendidikan yang masih merajalela merupakan indikator bahwa proses atau aktivitas pendidikan kita masih jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah urgensi humanisasi pendidikan. Humanisasi pendidikan merupakan upaya untuk menyiapkan generasi yang cerdas nalar, cerdas emosional, dan cerdas spiritual, bukan menciptakan manusia yang kerdil, pasif, dan tidak mampu mengatasi persoalan yang dihadapi.
Bertitik tolak dari permasalahan tersebut diatas, maka tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengungkapkan tentang pengertian humanisasi dalam pendidikan, orientasi pendidikan Islam dan paradigma pendidikan Islam humanis.
B.Pengertian Humanisasi atau Humanisme dan Pendidikan
Dalam kamus ilmiah populer arti dari kata humanisasi adalah pemanusiaan/penerapan rasa perikemanusiaan. Sedangkan humanisme adalah suatu doktrin yang menekan kepentingan-kepentingan kemanusiaan dan ideal (humanisme pada zaman renaissans didasarkan atas peradaban Yunani purba, sedangkan humanisme modern menekankan manusia secara eksklusif). Humanisasi bagi Malik Fadjar berimplikasi pada proses kependidikan dengan orientasi pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia, yakni aspek fisik-biologis dan ruhaniah-psikologis. Aspek rohaniah-psikologis inilah yang dicoba didewasakan dan di-insan kamil-kan melalui pendidikan sebagai elemen yang berpretensi positif dalam pembangunan kehidupan yang berkeadaban.
Makna kemanusiaan harus selalu dirumuskan secara baru dalam setiap perjumpaan dengan realitas dan konteks yang baru. Kemanusiaan perlu dilihat bukan sebagai esensi tetap atau situasi akhir. Makna kemanusiaan adalah proses menjadi manusiawi dalam interaksi antar manusia dengan konteks dan tantangan yang terus berkembang. Humanisme dipandang sebagai sebuah gagasan positif oleh kebanyakan orang. Humanisme mengingatkan kita akan gagasan-gagasan seperti kecintaan akan peri kemanusiaan, perdamaian, dan persaudaraan. Tetapi, makna filosofis dari humanisme jauh lebih signifikan; humanisme adalah cara berpikir bahwa mengemukakan konsep peri kemanusiaan sebagai fokus dan satu-satunya tujuan. Dengan kata lain, humanisme mengajak manusia berpaling dari Tuhan yang menciptakan mereka, dan hanya mementingkan keberadaan dan identitas mereka sendiri. Kamus umum mendefinisikan humanisme sebagai sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan pada berbagai nilai, karakteristik, dan tindak tanduk yang dipercaya terbaik bagi manusia, bukannya pada otoritas supernatural manapun”.
Sebagaimana dapat kita lihat, humanisme nyaris identik dengan ateisme, dan fakta ini dengan bebas diakui oleh kaum humanis. Terdapat dua manifesto/pernyataan penting yang diterbitkan oleh kaum humanis di abad yang lalu. Yang pertama dipublikasikan tahun 1933, dan ditandatangani oleh sebagian orang penting masa itu. Empat puluh tahun kemudian, di tahun 1973, manifesto humanis kedua dipublikasikan, menegaskan yang pertama, tetapi berisi beberapa tambahan yang berhubungan dengan berbagai perkembangan yang terjadi dalam pada itu. Ribuan pemikir, ilmuwan, penulis, dan praktisi media menandatangani manifesto kedua, yang didukung oleh Asosiasi Humanis Amerika yang masih sangat aktif.
Jika kita pelajari manifesto-manifesto itu, kita menemukan satu pondasi dasar pada masing-masingnya; dogma ateis bahwa alam semesta dan manusia tidak diciptakan tetapi ada secara bebas, bahwa manusia tidak bertanggung jawab kepada otoritas lain apa pun selain dirinya, dan bahwa kepercayaan kepada Tuhan menghambat perkembangan pribadi dan masyarakat. Enam pasal pertama dari Manifesto Humanis adalah; Pertama; Humanis memandang alam semesta ada dengan sendirinya dan tidak diciptakan. Kedua; Humanisme percaya bahwa manusia adalah bagian dari alam dan bahwa dia muncul sebagai hasil dari proses yang berkelanjutan. Ketiga; Dengan memegang pandangan hidup organik, humanis menemukan bahwa dualisme tradisional tentang pikiran dan jasad harus ditolak. Keempat; Humanisme mengakui bahwa budaya religius dan peradaban manusia, sebagaimana digambarkan dengan jelas oleh antropologi dan sejarah, merupakan produk dari suatu perkembangan bertahap karena interaksinya dengan lingkungan alam dan warisan sosialnya. Individu yang lahir di dalam suatu budaya tertentu sebagian besar dibentuk oleh budaya tersebut. Kelima; Humanisme menyatakan bahwa sifat alam semesta digambarkan oleh sains modern membuat jaminan supernatural atau kosmik apa pun bagi nilai-nilai manusia tidak dapat diterima. Keenam; Kita yakin bahwa waktu telah berlalu bagi ateisme, deisme, modernisme, dan beberapa macam “pemikiran baru”.
Dari definisi humanisme di atas, nampak sekali para humanis menganggap bahwa manusia adalah segala pusat aktifitas dengan meninggalkan peran Tuhan dalam kehidupannya. Hal ini berbeda dengan Islam yang meyakini ada kekuatan lain pada diri manusia yaitu pencipta alam ini. Humanisme yang dimaksud didalam Islam adalah memanusiakan manusia sesuai dengan perannya sebagai khalifah di bumi ini. Al-Qur`an menggunakan empat term untuk menyebutkan manusia, yaitu basyar, (QS. al-Baqarah, 2:187 ) al-nas,( QS. al-Hujurat, 49:13) bani adam (QS. al-Isra, 17:70) dan al-insan (QS. al-Dzariyat , 51:56). Keempat term tersebut mengandung arti yang berbeda-beda sesuai dengan konteks yang dimaksud dalam al-Qur`an.
Dari beberapa ayat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia itu makhluk yang sempurna. Kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya yaitu dari mulai proses penciptaannya (QS. al-Sajdah, 32:7-9, al-Insan, 76:2-3), bentuknya (QS. al-Tin, 95:4) serta tugas yang diberikan kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi (QS. al-Baqarah, 2:30-34, al-An`am, 6:165) dan sebagai makhluk yang wajib untuk mengabdi kepada Allah (QS. al-Dzariyat, 51:56).
Begitu tingginya derajat manusia, maka dalam pandangan Islam, manusia harus menggunakan potensi yang diberikan Allah kepadanya untuk mengembangkan dirinya baik dengan panca inderanya, akal maupun hatinya sehingga benar-benar menjadi manusia seutuhnya.
Kata Humanisasi atau humanisme kemudian apabila disandingkan dengan kata pendidikan, maka akan nampak pengertian bahwa sistem kerja dari proses sebuah pendidikan haruslah mengedepankan dan mementingkan aspek-aspek kemanusiaan. Istilah pendidikan, dalam bahasa Inggris disebut dengan Education adalah berasal dari bahasa latin Educere berarti memasukkan sesuatu, barangkali bermaksud memasukkan ilmu ke kepala seseorang. Dalam bahasa Arab beberapa istilah yang biasa dipergunakan dalam pengertian pendidikan. Biasa dipergunakan dengan kata ta’lim. Juga kata tarbiyah dipergunakan untuk pendidikan, seperti firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat 24. Disamping itu kata ta’dib dipergunakan dalam istilah pendidikan, seperti disebutkan dalam hadits Rasulullah saw, yang berbunyi “Allah mendidikku, maka Ia memberiku sebaik-baik pendidikan”.
Walaupun ketiga istilah pendidikan seperti telah disebutkan diatas, bisa dipergunakan dengan pengertian yang sama. Al-Attsa, 1980 berpendapat bahwa ta’lim hanya berarti pengajaran, jadi lebih sempit dari pendidikan. Dengan kata lain kata ta’lim hanyalah sebagian dari pendidikan. Sedang kata tarbiyah, yang lebih luas digunakan oleh negara-negara Arab, terlalu luas. Sebab kata tarbiyah juga digunakan untuk binatang dan tumbuh-tumbuhan dengan pengertian memelihara atau membela, menternak, dan lain-lain lagi. Sedang pendidikan yang diambil dari education itu hanya untuk manusia saja.
Sehingga menurut Al-Attas, kata ta’dib lebih tepat digunakan dalam penerapan istilah pendidikan, karena ta’dib tidak hanya dalam arti sempit mengajar saja dan tidak meliputi makhluk lain selain manusia, jadi ta’dib sudah meliputi kata ta’lim dan tarbiyah. Selain daripada itu kata ta’dib itu erat hubungannya dengan kondisi ilmu dalam Islam yang termasuk dalam sisi pendidikan. Kemudian selanjutnya jika term “pendidikan” dikontekskan dengan kata “Islam” bukan hanya proses transmisi atau alih budaya, ilmu, pengetahuan dan tekhnologi, tetapi juga sebagai proses penanaman nilai, karena tujuan pendidikan Islam adalah menjadikan manusia bertakwa untuk mencapai kesuksesan (al-falah) dunia dan akherat.
Sampai disini, barangkali dapat dipahami bahwa pendidikan Islam haruslah mengutamakan aspek-aspek manusiawi, karena hal itu merupakan tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri, yaitu menjadikan manusia bahagia di dunia dan di akherat. Dengan pendidikan manusia bisa menghargai dan memahami manusia lainnya sehingga terciptalah kondisi dimana dengan pendidikan manusia bisa memanusiakan lainnya.
C.Orientasi Pendidikan Islam
Beberapa pengamat pendidikan Islam mengatakan bahwa rumusan tujuan pendidikan Islam lebih pada upaya kebahagian di dunia dan diakherat, menghamba diri kepada Allah, memperkuat keislaman, melayani kepentingan masyarakat Islam, dan akhlak mulia. Sehingga terkesan bahwa tekanan utama dari tujuan pendidikan Islam adalah pada usaha membimbing kearah kepribadian muslim, yaitu manusia yang berilmu, beriman, beramal shalih, manusia yang berfikir, bersikap, bertindak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang lebih bersifat metafisik.
Dengan kerangka ini, dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan Islam bukan seharusnya “bagaimana membuat manusia sibuk mengurus dan memuliakan Tuhan saja dan justru melupakan kepekaannya terhadap kemanusiaan”, tetapi sesungguhnya tujuan pendidikan Islam adalah “memuliakan dengan sibuk memuliakan manusai dan dunianya” serta memuliakan dan memperdayakan manusia dengan segala potensi yang dimilikinya.
Tujuan pendidikan Islam yang ada sekarang ini, dirasakan tidaklah benar-benar kearah tujuan positif, tetapi tujuan pendidikan Islam hanya diorientasikan kepada kehidupan akherat semata dan cenderung bersifat difensif, yaitu supaya menyelamatkan kaum muslimin dari pencemaran dan pengrusakan yang ditimbulkan oleh dampak gagasan Barat yang datang melalui berbagai disiplin ilmu, terutama gagasan-gagasan yang mengancam akan meledakkan standar-standar moralitas tradisional Islam. Implikasinya, rumusan tujuan pendidikan Islam bertujuan untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengalaman peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia yang muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt. Serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Terlihat bahwa rumusannya lebih bersifat normatif dan tidak bersifat problematik.
Dalam pelaksanaan pendidikan Islam, apabila dicermati sebenarnya, seluruh model pendidikan Islam, baik itu pesantren, sekolah Islam dan pendidikan agama Islam di sekolah umum, tujuan utama membentuk pribadi muslim yang bertakwa, berakhlak mulia, cerdas, terampil, dan memiliki etos kerja yang tinggi untuk bekerja di masyarakat. Tujuan ini berlaku bagi semua tingkat dan jenjang pendidikan Islam. Tetapi ironisnya, hinggga kini belum ada sistem evaluasi yang dapat dijadikan ukuran apakah ketakwaan, kepribadian muslim, dan akhlak mulia telah dicapai. Evaluasi tujuan metafisik ini seperti model evaluasi lainnya yaitu terfokus pada “kemampuan kognisi” peserta didik atas ilmu-ilmu agama tanpa teori yang dapat menjelaskan hubungan antara penguasaan ilmu agama dengan kepribadian muslim, ketakwaan, dan akhlak mulia.
Ada beberapa pendapat beberapa tokoh pendidikan Islam yang senada dengan ungkapan diatas mengenai defenisi pendidikan Islam, diantaranya adalah :
a.Muhammad Fadlil al-Jamali. Pendidikan Islam adalah proses yang mengarahakan manusia kepada kehidupan yang mengangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar (fithrah) dan kemampuan ajarnya.
b.Omar Mohammad al-Toumy. Pendidikan Islam adalah usaha mengubah tingkah laku dalam kehidupan, baik individu maupun bermasyarakat serta berinteraksi dengan alam sekitar melalui proses kependidikan berlandaskan nilai Islam.
c.Muhammad Munir Mursyi. Pendidikan Islam adalah pendidikan fitrah manusia, karena Islam adalah agama fitrah, maka segala perintah, larangan dan kepatuhannya dapat mengantarkan mengetahui fitrah ini.
d.Hasan Langgulung. Pendidikan Islam adalah suatu proses spiritual, akhlak, intelektual dan sosial yang berusaha membimbing manusia dan memberinya nilai-nlai, prinsip-prinsip dan teladan ideal dalam kehidupan yang bertujuan mempersiapkan kehidupan dunia akherat.
Dengan demikian, “pendidikan Islam” adalah segala upaya atau proses pendidikan yang dilakukan untuk membimbing tingkah laku manusia baik individu maupun sosial, untuk mengarahkan potensi baik potensi dasar (fithrah) maupun ajar yang sesuai dengan fithrahnya melalui proses intelektual dan spiritual berlandaskan nilai Islam untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat.
Menurut hemat penulis, bahwa tujuan dari pendidikan Islam belumlah dikatakan istimewa, karena proses yang diolah hanyalah aspek kognisi saja, bagaimana manusia itu selamat dari pengaruh-pengaruh yang tidak sesuai dengan konteks agama, sehingga terkesan terlalu egoistis. Mengapa egosistis, karena upaya untuk menjadikan manusia memiliki keimanan dan akhlak mulia tidaklah cukup untuk menghadapi problematika dan banyaknya tantangan yang akan dihadapi manusia, jika bekal tersebut tidak di barengi dengan aspek-aspek lain seperti karya dan terampil “psikomotoriknya”. Bahwa pendidikan Islam hendaknya tidaklah hanya menekankan kepada aspek theosentris saja tetapi aspek anthroposentris sebagai realitas yang harus dihadapi dalam keberlangsungan dari proses pendidikan yang pasti akan di temui.
D.Paradigma Pendidikan Islam Humanis
Semangat penalaran dalam intelektualisme Islam masa lalu kini telah digantikan dengan tradisi mengekor (taqlid,). Demikian ungkap Ziaudin Sardar. Bukti dari fenomena ini adalah jarangnya penemuan-penemuan baru selama kurun ini dari lintas disiplin keilmuan, meski banyak pemikir-pemikir yang lahir, paling banter karya yang muncul adalah karya lanjutan tokoh-tokoh terdahulu, tidak ada yang benar-benar baru. Hal ini diperparah dengan peta politik dunia yang dimotori Barat yang berideologi sekuler melalui institusi-institusi modern yang masuk ke dunia Islam. Sebab internal inilah yang membuat Abdul Hamid Abu Sulaiman dalam Jurnal ‘Islamization of Knowledge with special Reference of Political Science’ (1985), berkomentar bahwa krisis multidimensi yang dialami umat Islam karena disebabkan beberapa hal antara lain; kemunduran umat (the backwardness of the ummah), kelemahan umat (the weakness of the ummah), stagnasi pemikiran umat (the intelectual stagnation of the ummah), absennya ijtihad umat (the absence of ijtihad in the ummah), absennya kemajuan kultural ummat (the absence of cultural progress in the ummah), tercerabutnya umat dari norma-norma dasar peradaban Islam (the ummah losing touch with the basic norm of islamic civilization).
Menurut Ali Ashraf, model pendidikan dengan tekanan pada transfer ilmu dan keahlian daripada pembangunan moralitas akan memunculkan sikap individualistis, skeptis, enggan menerima hal-hal non-observasional dan sikap menjauhi nilai-nilai Ilahiyah yang bernuansa kemanusiaan. Akibat lebih jauh, model pendidikan ini akan menghasilkan manusia mekanistik yang mengabaikan penghargaan kemanusiaan yang jauh dari nilai imajinatif, kreatif dan kultural. Kenyataan inilah yang menyebabkan kearifan, kecerdasan spiritual, kesadaran manusia terhadap makna hidup, lingkungan sosial dan alamnya menjadi gagal tumbuh dan akhirnya akan mati dan menciptakan ketegangan kemanusian seperti demen konflik dan perang, krisis nilai etis, dislokasi, alienasi, kekosongan nilai rohaniah dan sebagainya. Untuk itu, pendidikan Islam harus mampu mengantarkan manusia menuju kesempurnaan dan kelengkapan nilai kemanusiaan dalam arti yang sesungguhnya sebagai suatu sistem pemanusiawian manusia yang unik, mandiri dan kreatif sebagaimana fungsi diturunkannya al Qurán sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas bagi petunjuk itu serta pembeda antara yang benar dan yang salah (Q.S. al-Baqarah/2 : 185). Al Hasil, Al-Qur'an berperan dalam meluruskan kegagalan sistem pendidikan yang terjebak pada proses dehumanisasi.
Tujuan akhir pendidikan dalam Islam adalah proses pembentukan diri peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya. Hal ini meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan -terutama peserta didik- untuk mengembangkan diri dan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Pada masa kejayaan Islam, pendidikan telah mampu menjalankan perannya sebagai wadah pemberdayaan peserta didik, namun seiring dengan kemunduran dunia Islam, dunia pendidikan Islam pun turut mengalami kemunduran. Bahkan dalam paradigma pun terjadi pergeseran dari paradigma aktif-progresif menjadi pasif-defensif. Akibatnya, pendidikan Islam mengalami proses “isolasi diri” dan termarginalkan dari lingkungan di mana ia berada.
Dari gambaran masa kejayaan dunia pendidikan Islam di atas, terdapat beberapa hal yang dapat digunakan sebagai upaya untuk kembali membangkitkan dan menempatkan dunia pendidikan Islam pada peran yang semestinya yakni memanusiakan manusia atau humanisasi sekaligus menata ulang paradigma pendidikan Islam sehingga kembali bersifat aktif-progresif, yakni :
Pertama, menempatkan kembali seluruh aktifitas pendidikan (talab al-ilm) di bawah frame work agama. Artinya, seluruh aktifitas intelektual senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai agama Islam, di mana tujuan akhir dari seluruh aktifitas tersebut adalah upaya menegakkan agama dan mencari ridla Allah,sebagaimana firman Allah SWT; Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya al-Qur`an itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus. (QS. Al-Hajj, 22: 54).
Kedua, adanya perimbangan (balancing) antara disiplin ilmu agama dan pengembangan intelektualitas dalam kurikulum pendidikan. Salah satu faktor utama dari marginalisasi dalam dunia pendidikan Islam adalah kecenderungan untuk lebih menitik beratkan pada kajian agama dan tidak memberikan porsi yang berimbang pada pengembangan ilmu non-agama, bahkan menolak kajian-kajian non-agama. Oleh karena itu, penyeimbangan antara materi agama dan non-agama dalam dunia pendidikan Islam adalah sebuah keniscayaan jika ingin dunia pendidikan Islam kembali survive di tengah masyarakat. Al-Qur`an banyak menjelaskan didalam ayat-ayat kauniahnya agar manusia memikirkan dan mengkaji alam semesta ini, bagaimana langit ditinggikan, bumi dihamparkan, gunung-gunung ditegakkan, manusia diciptakan dan lain sebagainya. Hal ini mengindikasikan agar umat Islam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, tidak dibatasi hanya mempelajari ilmu-ilmu agama. Dan Nabi Muhammad pun memerintahkan para sahabat untuk menuntut ilmu ke negeri China. Hal ini sebagai dasar perintah dari Nabi agar umat Islam mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan umum, karena China dikenal pada saat itu sebagai negeri yang memiliki para ahli pengobatan atau tabib.
Ketiga, perlu diberikan kebebasan kepada civitas akademika untuk melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal karena selama masa kemunduran Islam, tercipta banyak sekat dan wilayah terlarang bagi perdebatan dan perbedaan pendapat yang mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan intelektual. Kalaulah tidak menghilangkan, minimal membuka kembali, sekat dan wilayah-wilayah yang selama ini terlarang bagi perdebatan, maka wilayah pengembangan intelektual akan semakin luas yang tentunya akan membuka peluang lebih lebar bagi pengembangan keilmuan di dunia pendidikan Islam pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya.
Keempat, mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang membumi. Artinya, strategi yang dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan di mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan. Selain itu, materi-materi yang diberikan juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, setidaknya selalu ada materi yang applicable dan memiliki relasi dengan kenyataan faktual yang ada. Dengan strategi ini diharapkan pendidikan Islam akan mampu menghasilkan sumber daya yang benar-benar mampu menghadapi tantangan zaman dan peka terhadap lingkungan.
Kumudian, satu faktor lain yang akan sangat membantu adalah adanya perhatian dan dukungan para pemimpin (pemerintah) atas proses penggalian dan pembangkitan dunia pendidikan Islam ini. Adanya perhatian dan dukungan pemerintah akan mampu mempercepat penemuan kembali paradigma pendidikan Islam yang aktif-progresif, yang dengannya diharapkan dunia pendidikan Islam dapat kembali mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana pemberdayaan dan humanisasi.
E.Kesimpulan
Dalam Islam, paradigma pendidikan yang dipakai adalah persenyawaan antara anthroposentris dan theosentris. Artinya proses perkembangan moral manusia itu didasari nilai-nilai islami yang dialogis terhadap tuntutan Tuhan, tuntutan dinamika sosial, dan tuntutan pengembangan fitrah lebih cenderung kepada pola hidup yang harmonis antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, serta kemampuan belajarnya disemangati oleh misi kekhalifahan dan penghambaan. Nilai-nilai kemanusiaan berakar pada penciptaan manusia. Manusia tercipta sebagai makhluk dinamis yakni manusia terus menerus berkembang dan berubah setiap saat.
Berdasarkan tesis ini, maka nilai-nilai kemanusiaan juga mengalami perkembangan dan perubahan pula. Nilai-nilai kemanusiaan itu berubah sejalan dengan perubahan waktu. Berubah berarti mengalami pergeseran, yaitu bergeser dari satu tahapan menuju ke tahapan yang lain, dari satu tingkatan menuju ke tingkatan berikutnya. Dimensi theosentris (hablun min Allâh) dan anthroposentris (hablun min al-nâs) adalah dua dimensi bagaikan dua sisi mata uang. Kesalehan seseorang kepada Tuhan tidaklah dianggap cukup jika tidak disertai dengan kesalehannya kepada sesama manusia dan makhluk lainnya. Dengan demikian, dimensi anthroposentris dan dimensi theosentris pada hakikatnya mewujudkan kesejahteraan anthroposentris. Rasa kemanusiaan yang terpisah dari rasa ketuhanan akan menjadikan manusia memberhalakan manusia. Makna sejati dari kemanusiaan itu sendiri terletak pada kebersamaannya dengan ketuhanan. Demikian juga rasa ketuhanan tidak akan memperoleh makna yang luhur bila tidak diikuti dengan rasa kemanusiaan.
Ada beberapa prinsip tentang manusia yang dapat dijadikan landasan bagi kepentingan pendidikan Islam yang humanis yaitu: pertama, manusia (peserta didik) adalah makhluk termulia yang melebihi makhluk-makhluk lain seperti malaikat, jin, setan, dan hewan. Karena itu, dalam proses pendidikan, para guru lebih mendahulukan strategi pembelajaran yang memanusiakan manusia daripada yang bersifat pemaksaan. Kedua, manusia memiliki kemampuan berfikir dan permenungan. Ia dapat menjadikan alam sekitarnya sebagai objek renungan, pengamatan, dan arena tempat menimbulkan perubahan yang diingini. Manusia adalah makhluk yang mampu melakukan self-reflection, ia mampu keluar dari dirinya dan menengok ke belakang, kemudian mengadakan penelitian dan permenungan. Ketiga, ada perbedaan perseorangan. Yakni bahwa masing-masing manusia memiliki ciri khas tersendiri berdasarkan potensi yang dimilikinya, baik lahir maupun batin. Menelaah manusia hanya pada satu sisi, akan membawa pada stagnasi pemikiran tentang manusia, sekaligus menjadikannya obyek yang statis. Keempat, manusia dalam kehidupannya dipengaruhi dan bersosialisasi dengan faktor-faktor bawaan dan alam lingkungan, terutama lingkungan sosial. Manusia membutuhkan sosialisasi di antara mereka. Hubungan antar manusia didasari oleh hubungan kekhalifahan, kebaikan, dan egaliter. Manusia lain dipandang sebagai pribadi yang harus dipersilakan mengembangkan dirinya. Kelima, Manusia dalam kebebasannya mengolah spiritualitasnya untuk dapat menyadari eksistensi Tuhan. Menyadari eksistensi Tuhan akan melahirkan tanggung jawab kepada Sang Ilahi. Menurut Andreas Harefa, lahirnya tanggung jawab itu karena didorong oleh adanya kesadaran mengenai hakikat diri sebagai makhluk langit, makhluk moral spiritual (moral spiritual being) dan tidak hidup hanya untuk minum dan makan.
Pendidikan bukan hanya memberikan keleluasaan terhadap pengabdian spiritual, melainkan yang lebih penting lagi harus memungkinkan terselesaikannya berbagai peristiwa tragis kemanusiaan seperti penindasan, pembodohan, teror, radikalisme, keterbelakangan, dan permasalahan lingkungan. Agar wacana kemanusiaan tanpa kekerasan tetap dikedepankan dalam pendidikan, kurikulum harus menyajikan materi yang memungkinkan bagi tumbuhnya sikap kritis bagi peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Rosyadi, Khoiron. 2004. Pendidikan Propetik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Thoib, Ismail. 2008. Wacana Baru Pendidikan, Meretas Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Genta Press.
Malik Fadjar, Malik. 2004. Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Encarta, World English Dictionary, 1999, Microsoft Corporation Developed for Microsoft by Bloomsbury Publishing.
www.jjnet.com/archives/documents/humanist.htm.
Langgulung, Hasan. 2003. Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru.
_______________. 2004. Manusia dan Pendidikan, Yogyakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru.
Soeroyo, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun 2000, dalam Muslih USA (ED.), 1991. Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Arifin, HM. 1991. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
Mohammad al-Toumy al-Syaebany, Omar. 1979. Falsafah Pendidikan Islam Jakarta: Bulan Bintang.
Munir Mursyi, Muhammad. 1977. Al-Tarbiyah al-Islamiyah, Cairo: Dar al-Kutub.
Qadir, C. A. 1991. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Ilyas, Yunahar dan Azhar, Muhammad. 1999. (ed.), Pendidikan dalam Perspektif al-Qur'an, Yogykarta : Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) UMY.
Sholeh, A Khudhori. 2003. Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta : Jendela.
website Pendidikan Network, judul Artikel Melacak Paradigma Pendidikan Islam.
Suyudi, H.M. 2005. Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an, Yogyakarta: Mikraj
0 komentar:
Posting Komentar