BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Berbicara masalah penafsiran Al-Qur’an maka biasanya
didalam penafsiran tersebut tidak luput
dari pembahasan cerita-cerita, salah satu cerita tersebut berasal dari
ahli kitab Israil yang kemudian ceritanya disebut cerita isra>i>lliyat.
Biasanya cerita isra>i>lliyat tersebut dibarengi dengan cerita yag
berasal dari Nasrani (Kristen) yang disebut Nasraniyyat.
Orang Yahudi mempunyai pengetahuan keagamaan yang
bersumber dari Taurat dan sedangkan sumber pengetahuan keagamaan orang Nasrani
adalah Injil. Cukup banyak orang Nasrani dan Yahudi yang bernaung dibawah
panji-panji Islam sejak Islam lahir, sedangkan mereka tetap memelihara dengan
baik pengetahuan keagamaan mereka.
Sementara itu al-Qur’an banyak mencakup hal-hal yang
terdapat dalam Taurat dan Injil, khususnya yang berhubungan dengan kisah nabi
dan umat terdahulu. Namun dalam al-Qur’an kisah-kisah itu hanya dikemukakan
secara singkat dengan menitik beratkan pada aspek nasehat dan pelajaran, tidak
mengungkapkan secara rinci dan mendetail. Akan tetapi, Taurat dan Injil
mengemukakan secara panjang lebar dengan menjelaskan rincian dan
bagian-bagiannya.
Ketika Ahli Kitab masuk Islam, mereka membawa pula
pengetahuan keagamaan mereka berupa cerita dan kisah-kisah keagamaan. Dan
disaat membaca kisah-kisah dalam al-Qur’an terkadang mereka memaparkan rincian
kisah yang ada dalam kitab mereka.[1]
Para sahabat menaruh perhatian besar terhadap kisah-kisah yang mereka bawakan,
sesuai pesan Rasulullah :
الينا انزل وما بالله آ منا لوا وقو تكذبواهم لا و
ب الكتا أهل قوا تصد ولا
“janganlah kamu membenarkan (keterangan) ahli kitab dan
jangan pula kamu mendustakannya, tapi katakanlah, ‘kami beriman kepada Allah
dan kepada apa yang diturunkan kepada kami’..”[2]
Sebenarnya para sahabat sangat sedikit mengambil
berita-berita, keterangan-keterangan dari para Ahli Kitab untuk menafsirkan
al-Qur’an. Akan tetapi ketika tiba masa tabi’in dan banyak pula Ahli
Kitab yang masuk Islam, maka tabi’in banyak mengambil kisah dari mereka.
Ada semacam dorongan bagi jiwa-jiwa umat Islam saat itu untuk mendengarkan
perincian yang disyaratkan oleh al-Qur’an dari para tokoh-tokoh Yahudi dan
Nasrani yang masuk Islam pada saat itu. Dampaknya, sebagian sahabat dan tabi’in
menganggap sepele persoalan ini, sehingga mereka memasukkan banyak riwayat isra>i>lliyat
dan nashraniyat ke dalam tafsir. Kemudian perhatian para mufassir
sesudah tabi’in terhadap isra>i>lliyat semakin besar bahkan
menimbulkan ketergantungan.[3]
Para mufassir tidak lagi mengoreksi terlebih dahulu kutipan cerita-cerita isra>i>lliyat
yang mereka ambil, padahal diantaranya terdapat tidak benar.
- RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka penulis membatasi permasalahan
yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu :
- Pengertian isra>i>lliyat
- Timbulnya isra>i>lliyat Dalam Penafsiran al-Qur’an
- Tokoh-tokoh isra>i>lliyat
- Pembagian Isro’illiyat Ditinjau Dari Berbagai Aspek
- Berbagai Pandangan tentang isra>i>lliyat
BAB
II
INFILTRASI
ISRA<I>>>><LLIYAT DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN
A.
PENGERTIAN ISRA<I>>>><LLIYAT
DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN
Dalam kitab-kitab tafsir, biasanya banyak
mengandung cerita-cerita baik yang lengkap dengan sanadnya atau pun yang hanya
sekedar al-kisah saja. Perlu diketahui bahwa diantara sisipan-sisipan
cerita tersebut salah satunya berasal dari ahli kitab terdahulu sebelum
lahirnya nabi Muhammad SAW, baik dari Yahudi, Nasrani dan lain sebagainya,
cerita-cerita dari keturunan Bani Israel ini biasanya disebut dengan isra>i>lliyat.
Kata ini berasal dari jamaknya israi<lliyat
yang nisbatkan pada kata-kata “Israil”. Israil berasal dari kata isra>’
(ibrani) yang berarti hamba atau pilihan dan kata i>l berarti Tuhan (Allah)
jadi kata israi<l ber’arti hamba Allah atau pilihan Allah.[4]
Ibrani merupakan salah satu bangsa Yahudi Kuno yang banyak melahirkan ahli
kitab. Sampai pada masa Nabi Muhammad kitab-kitab dari Yahudi Kuno dan ahli-ahli
kitab yang mempelajarinya masih cukup banyak, salah satunya ahli kitab tersebut
adalah Waraqah bin Naufal yang menebak ketika nabi Muhammad SAW yang akan
menjadi nabi, ketika nabi bermimpi bertemu dengan malaikat Jibril selama 3 kali
berturut-turut.[5]
Waraqah sendiri adalah seorang pemeluk Kristen pada masa jahiliyah. Lalu, dia mengabarkan
apa yang terjadi pada Muhammad.
Ada sejarah lain menyebutkan
bahwa kata isra>i>lliyat ini dinisbatkan pada Nabi Yakub A.S.
putra dari Nabi Ishak bin Ibrahim A.S. Suatu ketika Yakub mengadakan perjalanan
bersama seluruh keluarganya. Di tengah perjalanan malam hari, dia bertemu Tuhan
yang mengajak bergumul melawannya
sampai subuh. Karena Yakub bisa memenangkan pergumulan itu maka dia disebut
dengan Israel, sebagaimana yang termaktub dalam kitab Kejadian 32;28
sebagai berikut:
“Namamu bukan Yakub lagi,
tetapi Israel, karena engkau bergumul melawan Allah”[6]
Israi<lliyat bisa disebut dengan
kata ‘ajam yakni bahasa yang bukan asli dari bahasa arab, sehingga
ketika ditulis bersama dengan bahasa arab lainnya tidak mempunyai arti, tetapi
hanya sebagai salah satu istilah yang masuk dan diserap kedalam bahasa arab.
Sedangkan deskripsi isra>i>lliyat
dalam etimologinya dapat mengutip pendapat Al-Dzahabi, dimana isra>i>lliyat
bisa disebut kisah atau dongeng kuno yang menyusup dalam tafsir dan hadist yang
sumber periwayatannya kembali pada sumber Yahudi, Nasrani dan lain sebagainya.[7]
Sebagian ahli tafsir dan hadist memperluas
lagi pengertian isra>i>lliyat ini, dimana isra>i>lliyat
bisa bermakna cerita-cerita yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam
ke dalam tafsir Al-Quran dan Hadist yang selama sekali tidak dijumpai dasarnya
dalam sumber-sumber lama (Al-qur’an dan hadist).[8]
Dapat kita simpulkan bahwa isra>i>lliyat
ini merupakan beberapa unsur-unsur cerita Yahudi, Nasrani dan lain sebagainya
yang masuk kedalam tafsir al-Qur’an, baik yang sanadnya lengkap atau pun hanya
bentuk dongeng al-qisah.
B.
SEBAB-SEBAB
ISRAILIYAT MASUK DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN
Berbicara masalah sebab masuknya isra>i>lliyat
dalam penafsiran Al-Qur’an maka hal ini tidak lepas dengan sejarah masuknya
Islam, baik ketika Islam yang ada di Mekkah, Madinah maupun didaerah-daerah
yang lain. Proses masuknya cerita-cerita isra>i>lliyat ini berawal
pada masa sebelum nabi Muhammad SAW diutus menjadi nabi sampai sahabat dan
tabi’in, proses tersebut dibagi menjadi tiga bagian, diantaranya:
- Pedagang Arab Jahiliyah banyak melakukan perjalanan dagang yang biasanya disebut dengan al-Rihlah, perjalanan ini sudah menjadi tradisi turun-menurun mulai sebelum lahirnya nabi Muhammad SAW hingga sampai pada masa Shahabat dan Tabi’in.[9] Kota Yaman dan Kota Syam sejak awal menjadi persinggahan dan tempat pangkalan perdagangan terkenal pada saat itu, dimana perjalanan perdagangan tergantung pada musim, jika musim dingin maka perdagangan dilakukan di kota Yaman dan jika musim panas perdagangannya dilakukan di Kota Syam. Sedangkan penduduk asli dua kota itu sendiri banyak yang menjadi ahli kitab. Ketika perdagangan itu berlangsung maka terjadi kontak antara pedagang dengan ahli kitab tersebut. Pertemuan keduanya ini menjadi pendorong masuknya kisah-kisah Yahudi kedalam bangsa Arab.[10] Kalau mungkin pada masa Rasulullah SAW cerita-cerita tersebut masih bisa di filter langsung oleh nabi Muhammad dan shahabat-shahabat tetapi ketika pada shahabat dan tabi’in sudah banyak bermunculan cerita yang tidak sesuai dengan syariat dan akidah Islam diserap oleh orang Islam sendiri dengan mengatasnamakan al-Qur’an dan Hadist
- Penyebab kedua dari masuknya cerita-cerita isra>i>lliyat masuk pada penafsiran al-Qur’an ini terjadi waktu hijrahnya umat Islam dari Mekkah dan Madinah, dimana ada kontak langsung antara umat Islam yang sedang melakukan hijrah dengan penduduk kota dan negara yang menjadi tempat persinggahan ketika dalam perjalanan hijrah, salah satu kota tersebut adalah Yaman dan Syam.[11]
- Masuknya isra>i>lliyat pada penafsiran al-Qur’an juga berlangsung di Madinah, dimana pada waktu kaum muslimin banyak yang berpindah (hijrah) ke Madinah sedangkan penduduk asli Madinah sendiri banyak keluarga Yahudi yang bertempat tinggal disana seperti keluarga Bani Nadzir, Bani Qunaiqa’, Bani Buraisah sehingga terjadi proses periwayatan cerita-cerita Yahudi oleh kaum muslimin. Periwayatan ini terjadi dengan adanya dua kemungkinan, diantaranya;
a.
Kontak langsung antara kaum muslimin dengan
orang-orang Yahudi yang rata-rata ahli Kitab.
b.
Dari
kalangan Yahudi sendiri ada yang masuk Islam.
Jika diteliti dari perperiode maka proses infiltrasi
cerita-cerita isra>i>lliyat secara meluas baik terhadap al-Qur’an
atau pun hadist karena telah diketahui oleh para ulama, bahwa tafsir dan hadist
itu memiliki 2 periode yang berbeda, yakni periode periwayatan dan pembukuan.
- Periode Periwayatan Tafsir
Pada periode ini para sahabat dan tabi’in menyampaikan dan menghafal
penjelasan dan kemudian disampaikan kepada saudara-saudara ataupun
murid-muridnya. Akan tetapi dalam proses periwayatan ini, antara sahabat dan
para tabi’in terdapat pengurangan dan penambahan, karena para tabi’in ini tidak
hanya mengambil maqalah satu sahabat saja. Sebagian sumber berasal dari
sahabat dan sebagian lainnya diluar sahabat[12].
Alasan yang lain, penafsir setelah tabi’in menganggap remeh masalah riwayat dan
orang yang meriwayatkan maqalah nabi tersebut, bahkan kadang sampai membuang sanadnya.
- Periode Pembukuan Hadis
Periode ini dimulai pada abad pertama dan kedua Hijriah. Berawal dari Umar
bin Abdul Aziz memerintahkan semua ulama’ untuk mengumpulkan hadist-hadist
rasul yang dianggap benar, kemudian hadist tersebut dibukukan menjadi
bermacam-macam bab yang bervariasi dan tafsir merupakan salah satu bab dari
pembukuan tersebut. Pada abad kedua hijriah, tafsir dan hadits tersebut
dipisahkan antara satu dengan lainnya, masing-masing dibukukan tersendiri,
demikian pula halnya dengan hadist. Dalam proses pembukuan tafsir ini dilakukan
dengan cara mengemukakan riwayat-riwayat
disertai dengan sanadnya, sehingga dimungkinkan untuk mengetahui mutu
yang diriwayatkan, baik shahih ataupun dhaif-nya, dengan cara
meneliti sanadnya.
- Periode Periwayatan Hadits
Pada periodc ini, isra>i>lliyat tidak hanya merembes pada
tafsir, tapi juga pada hadist. Hal ini terjadi karena kondisi mereka masih
berdekatan dengan murid-murid ahli kitab. Selain itu, taurat dan injil serta
segala syarah dan penjelasannya masih dipakai sebagai referensi dalam
periwayatan hadist.
Terlebih lagi setelah masa tabi’in tumbuh kegandrungan yang luar biasa
terhadap cerita isra>i>lliyat. Mereka mengambil cerita tersebut
secara keseluruhan tanpa mengembalikan lagi kepada al-Qur’an.
- Periode Pembukuan Hadits
Periode ini berlangsung sekitar tahun 420-427 H, dimana para ulama’
membukukan hadist dengan membuang sanadnya, mereka mengumpulkan hadist yang
shahih maupun yang tidak dan diantaranya adalah cerita-cerita isra>i>lliyat
tersebut.
Ibn Khaldun mencoba
menjelaskan alasan kenapa kaum muslimin merujuk pada Ahli kitab dalam
melengkapi hadist dan tafsir al-Qur’an-nya dengan cerita-cerita isra>i>lliyat,
menurutnya hal ini disebabkan karena adanya tafsir adanya 2 tafsir, yaitu :
a)
Tafsir
Naqly, yakni yang disandarkan pada riwayat-riwayat yang berasal
dari generasi salaf mengenai nasikh-mansukhnya, sebab-sebab turunnya ayat,
maksud ayat, dan hal-hal lain yang tidak mungkin dapat diketahui, kecuali
melalui riwayat yang berasal dari
shahabat dan tabi’in.[13]
Riwayat-riwayat tersebut telah dikumpulkan dan diriwayatkan oleh
orang-orang terdahulu. Sayangnya, kitab-kitab dan periwayatan mereka tidak saja
mengandung madu, tetapi juga racun; atau tidak saja mengandung riwayat yang
dapat diterima (maqbul), tetapi juga mengandung riwayat yang dapat ditolak (mardud).
b)
Tafsir
Ra’yu, yakni penafsiran yang dihasilkan dari ijtihad ulama dan
tokoh-tokoh penafsir lainnya, biasanya ada kesepakatan antara ulama satu dengan
ulama yang lainnya atau kesepakatan semua ulama
C.
KLASIFIKASI
ISRAILIYAT DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN
Berangkat dari jumlah cerita isra>i>lliyat
yang berjibun, maka cerita isra>i>lliyat ini dapat kita
klasifikasikan menjadi 3 tinjauan, diantaranya bisa diteropong dari sudut
kesahihannya, aspek materinya dan tinjauan dari kandungannya yang sesuai dengan
syariat Islam, berikut lebih jelasnya tiga bagian tersebut :
1)
Ditinjau
dari keshahihannya ada 2, diantaranya[14];
a.
Israi<lliyat
yang Shahih
Isroilliyat yang bisa dikategorikan shohih adalah cerita yang sanadnya
berurutan lengkap serta para perawinya shahih.
Contohnya adalah penafsiran Ibn Katsir yang diriwayatkan oleh Ibu Jarir
yakni, cerita tentang sifat Rosulullah SAW yang rentetan sanadnya dari Mustanadzir
Usman bin Umar dari Fulah dari Hilal bin
Ali dari Atho’ bin Yasir.[15]
b.
Israi<lliyat yang
Dhaif
Isroilliyat disebut dhaif apabila sanadnya tidak bersambung atau tidak
berurutan lengkap dan perawinya dhaif.
Contohnya atsar yang diriwayatkan oleh Abu Muhammad bin Abdurrohman
dari Abu Hatim ar-Razi kemudian dinukil oleh Ibn Katsir dalam uraian tafsirnya
di Surat Qaf
a.
Sesuai dengan
Syariat Islam
Biasanya cerita-cerita yang dikutip dalam tafsir yang sesuai dengan
al-Qur’an dan hadist maka itu disebut Isra>i>lliyat yang sesuai
dengan syari’at Islam.
Contohnya, riwayat Imam Bukhari dan Muslim yang diceritakan oleh Yahya bin
Bukhari dari Lays dari Khalid dari Sa’id bin Abu Hilmu dari Zaid bin Aslam dari
Atho’ bin Yasir dari Abu Sa’id al Khudri, yakni cerita tentang hari kiamat
dimana hari kiamat tersebut diumpamakan seperti segenggam roti dalam genggaman
Allah.
b.
Bertentangan
dengan Syariat Islam
Cerita yang terang-terangan mendustakan ajaran-ajaran Islam dan bertentangan
dengan isi al-Qur’an.
Contohnya, cerita Nabi Harun A.S yang membuat anak sapi untuk Bani Israil
lalu mengajak mereka untuk menyembah anak sapi tersebut dan cerita syetan yang
duduk disinggasana nabi Sulaiman yang diriwayatkan dari Ibn Jarir dari Abu
Halim. Kedua cerita ini bisa ditemui dalam kita Safarul Khuruj
c.
Didiamkan (tidak
ada yang menolak dan tidak ada yang memperkuat untuk syari’at Islam)
Cerita Isra>i>lliyat yang didiamkan biasanya cerita yang tidak
kebenarannya dalam al-Qur’an aakan
ttetapi juga tidak bertentangan dan dilarang dalam al-Qur’an. Contoh dari
cerita tersebut diriwayatkan dari Ibn Katsir dari Suudi dalam Tafsirnya,
ayat-ayat yang menjelaskan tentang sapi betina atau lebih jelasnya dapat dibaca
dalam tafsirnya Ibn Kastir di Surat Al-Baqoroh ayat 67 sampai ayat 74
3)
Ditinjau
dari aspek materi ada 3, antara lain :[17]
a.
Akidah
Dalam ayat-ayat tertentu dimana ayat tersebut mengandung akidah biasanya
diselingi dengan cerita, salah satu cerita tersebut bersifat cerita Isra>i>lliyat,
misalnya Imam Bukhori menjelaskan firman Allah Surat az-Zumar ayat 67
dilengkapi dengan cerita Isra>i>lliyat tersebut
b.
Hukum
Ayat-ayat al-qur;’an yang menguraikan tentang hukum biasanya penjelasannya
ditambah dengan cerita yang menjadi sebab-musabab atau asbabun-nuzul dari ayat
tersebut.contoh cerita tersebut dapat kita temukan dalam QS. Al-Imron ayat 93 dalam tafsirnya Ibn Katsir
c.
Nasehat
atau Kejadian
Penafsiran Ibn Katsir yang menjelaskan tentang nasihat atau suatu peristiwa
yang berkaitan dengan materi hukum, akidah dan lain sebagainya. Contoh isra>i>lliyat
ini bisa kita lihat di tafsirnya Ibn Katsir QS. Al-Hud ayat 37.
D.
PANDANGAN
ULAMA TENTANG ISRAILIYAT
Dengan adanya beberapa cerita isra>i>lliyat
dalam al-Qur’an maka terdapat beberapa
ulama juga mengeluarkan maklumat dalam
menyikapi cerita-cerita isra>i>lliyat tersebut seperti Ibn
Taimiyah, Baqai, Ibn Arabi dan lain sebagainya. Berikut kami uraikan
hukum-hukum yang dikelurakan oleh ulama-ulama di atas[18]:
1.
Ibn
Taimiyah
Dalam kitab ilmu tafsirnya ushul al-tafsir, Ibn Taimiyah bahwa
cerita-cerita isra>i>lliyat boleh saja dipakai akan tetapi hanya
sebagai saksi dan bukan untuk diyakini dari beberapa kriteria aspek kehidupan
manusia.
2.
Baqai
Menurut Baqa’i ini dalam al-Anwar al-Qawimah fi> Hukmil al-Naql-nya
dijelaskan bahwa isra>i>lliyat ini diperbolehkan walaupun tidak
dibenarkan atau tidak didustakan dengan tujuan hanya ingin mengetahui, bukan
dijadikan pegangan.
3.
Ibn Arabi
Berbeda dengan Baqa’i, Ibn Arabi memaklumatkan tentang isra>i>lliyat
ini hanya boleh diriwayatkan dan yang boleh dimuat dalam tafsir-tafsir hanya
sebatas cerita-cerita yang menyangkut atau bersinggungan dengan keadaan nabi
sendiri, sedangkan kalau cerita orang lain perlu dipertanyakan dan membutuhkan
dan memerlukan penelitian yang lebih cermat.
4.
Ibn Kastir
Ibn Katsir sendiri mempunyai tiga kriteria dalam menghukumi cerita-cerita isra>i>lliyat
ini diantaranya;
a.
Cerita yang
sesuai dengan al-Qur’an, hal itu benar dan boleh digunakan dengan catatan hanya
sebagai bukti bukan dijadikan hujjah (pegangan).
b.
Cerita yang
terang-terangan dusta karena menyalahi ajaran Islam, maka hukumnya harus
ditinggalkan atau dibuang. Karena merusak aqidah dan syari’at Islam.
c.
Cerita yang
didiamkan dimana cerita yang tidak ada dalam kebenaran al-Qur’an, akan tetapi, tidak
bertentangan dalam al-Qur’an. Cerita ini boleh dipercaya tapi tidak boleh
dijadikan pegangan. (hujjah)
5.
Ibn Mas’ud
dan Ibn Abbas
Kedua ulama’ ini biasa meriwayatkan cerita-cerita isra>i>lliyat
dari tokoh-tokohnya sendiri seperti Ka’ab al- An Bari, Wahab bin Munabah,
Abdullah bin Salam dan Tamim al-Dari. Maka kedua ulama’ ini mempunyai hukum
boleh mengambil cerita isra>i>lliyat baik meriwayatkan dan
memuatnya dalam tafsir.
6.
Abdullah
bin Amru bin al-Ash
Abdullah bin Amru ini menghukumi mubah dari cerita-cerita isra>i>lliyat
ini tetapi, bukan untuk i’tiqad dan dasar hukum, tapi hanya sebagai ishtishad.
E.
TOKOH
PERIWAYAT ISRAILIYAT
Berbicara masalah tokoh-tokoh isra>i>lliyat,
maka tidak akan terlewatkan membahas
sejarah Islam, dimana tokoh-tokoh ini mempunyai tahap-tahap tersendiri yang
sesuai dengan masa atau waktu selama ia
mendalami dan menganalisis cerita-cerita isra>i>lliyat. Selain itu
pembicaraan tokoh-tokoh isra>i>lliyat ini juga akan dibahas
tentang pemikirannya. Tokoh-tokoh isra>i>lliyat ini akan dibagi
menjadi tiga periode, diantaranya pada masa shahabat, periode tabi’in dan masa
sesudah tabi’in[19]
1. Periode
Shahabat
Tokoh-tokoh
periwayat isra>i>lliyat pada masa shahabat kebanyakan tidak
mengambil keseluruhan dari cerita tersebut, akan tetapi hanya mengambil
beberapa dari cerita yang sekiranya cocok dengan kajian-kajian Islam dan
relevan dengan Syariat Islam, sebab mereka mempunyai dasar yang dijadikan
pegangan dalam pengambilan cerita isra>i>lliyat tersebut. Adapun
dasar tersebut diambil dari hadist nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh
Al-Bukhari dari Abdullah bin Amr:
النار من مقعده فليتبوأ متعمدا على كذب ومن , حرج لا اسرائيل بنى عن وحدثوا , آية ولو عنى بلغوا
“ ..Sampaikanlah olehmu apa yang kalian
dapatkan dariku walaupun satu ayat. Ceritakanlah riwayat Bani Isriail dan tidak
ada dosa didalamnya. Siapa yang berbohong kepadaku, maka bersiaplah untuk
mengabil tempat di dalam neraka” [20]
Pada
masa ini ada tiga tokoh yang sudah tidak asing lagi bagi telinga masyarakat
Islam pada umumnya sebab karya-karya dan pemikrannya banyak dikutip oleh
tokoh-tokoh sesudahnya, diantaranya tokoh-tokoh tersebut :
a.
Abu
Hurairah
Pada masa nabi Muhammad SAW lebih mengedepankan pada
hukum, mana yang hak dan mana yang bathil. Hal serupa juga dapat ditemui pada
penafsiran Abu Hurairah, dimana pengambilan dasar hukum-hukumnya dinisbatkan
pada hadist nabi yang shahih dan hukum-hukum yang tertuang dalam al-Qur’an.
Pendapat Abu hurairah ini sangat hati-hati dan tidak pernah bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an walau pun dalam
penafsirannya tersebut banyak cerita-cerita isra>i>lliyat.[21]
Abu Hurairah
merupakan shahabat yang pertama yang memasukkan isra>i>lliyat
didalam penafsiran al-Qur’an tetapi dengan catatan cerita yang ia bawa eksistensinya
asli dari kita Taurat. Banyak ahli tafsir l;ain sesudah masa Abu Hurairah ini,
seperti Imam Baihaqi berpendapat bahwa disetiap penjelasan atau penafsirannya
Abu Hurairah terdapat cerita-cerita yang langsung dari kitab Taurat, tidak
heran kemudian jika Abu Hurairah disebut sebagai pencetus pembawa cerita isra>i>lliyat
kedalam ilimu tafsir dan kitab-kitab tafsir.
b.
Ibn Abbas
Nama
lengkapnya adalah Abdullah bin Abbas , sama halnya dengan Abu Hurairah
referensi Ibn Abbas dalam menafsirkan al-Quran biasanya diselingi dengan
cerita-cerita isra>i>lliyat yang dikutip langsung dari Kitab Taurat
dan Injil. Cerita-cerita isra>i>lliyat ini sangat berhubungan dan
relevan dengan dengan
pembahasan-pembahasan al-Qur’an yang ia bahas
dalam kitab tafsirnya. Maimunah, anak sulungnya Ibn Abbas bercerita
tentang bagaimana proses usaha Ibn Abbas dalam pengambilan cerita-cerita isra>i>lliyat
ini kedalam kitab tafsirnya, yakni dengan menghatam al-qur’an setiap satu
minggu satu kali dan menghatam kitab Taurat satu tahun satu kali selain itu ia
menambah hatamannya tersebut dengan menghafal al-Quran dan Taurat setiap hari fungsi
dari proses tersebut agar dapat menjaga
bacaan-bacaan al-Qur’annya, mengetahui isi kitab sebelum al-Qur’an serta menjadikan referensi yang kuat untuk
setiap tafsir-tafsirnya.[22]
Sebagai
penafsir serta menyelingi keterangantafsirnya dengan cerita isra>i>lliyat,
Ibn Abbas sangat memperhitungkan dan lebih bersifat hati-hati dalam mengambil
cerita dari ahli-ahli kitab baik cerita tersebut dari ahli kitab Yahudi atau
pun dari ahli kitab Nasrani karena dia beralasan bahwa tidak semua
cerita-cerita tersebut sesuai dengan kajian-kajian al-Qur’an serta relevan
dengan isi kandungan dalam al-Qur’an.
Sebenarnya
kemungkinan saja bisa saja terjadi dalam proses belajarnya Ibn Abbbas ini
terhadap ahli kitab Taurat dan Injil ini bukan hanya terjadi proses pemindahan
ilmu pengetahuan akan tetapi juga terjadi penyerapan karakter pemikiran-pemikiran gurunya yang norabene mereka terdiri dari kalangan
Yahudi dan Nasrani. Tentunya hal ini, berpengaruh proses pembelajaraanya Ibn
Abbas rersebut berpangaruh terhadap hasil karangan tafsirnya karena kitab
tafsirnya tersebut penjelasannya mengambil dari kitab Taurat dan injil yang sebelumnya ia pelajari bersama
ahli kitab Yahudi dan Nasrani.
Perlu
diketahui bahwa ketika sebagian ahli kitab Yahudi dan Nasrani masuk Islam
ataupun hanya berinteraksi dengan orang-orang Islam, biasanya orang-orang Islam
tersebut menyerap ilmu ahli kitab ini, kemudian memasukkanya kedalam tafsir
al-Qur’an serta sebagai tambahan penjelasan hadist-hadist..[23]
c.
Abdullah
Bin Umar Bin Ash’
Proses
infiltrasi cerita-cerita isra>i>lliyat kedalam tafsir karya
Abdullah bin Umar bin Ash ini berawal pada perang Yarmuk, dimana pada waktu itu
dia mendapatkan dua teman yang sama-sama ahli kitab, lalu keduanya menceritakan
sebuah hadist. Hadist tersebut ialah;
النار من مقعده فليتبوأ متعمدا على كذب ومن , حرج لا اسرائيل بنى عن وحدثوا , آية ولو عنى بلغوا
“sampaikanlah
olehmu sekalian dari aku walau pun satu ayat, dan ceritakanlah dari bani Isroil
yang demikian itu kalian tidak berdosa” [24]
Alasan
Abdullah ini memasukkan cerita isra>i>lliyat tersebut kedalam
tafsir karangannya karena sebagian cerita tersebut yang berasal dari ahli kitab
Yahudi dan Nasrani yang beliau tangkap menunjukkan cerita-cerita yang
mengandung keajaiban dan keghaiban. Cerita-cerita seperti ini, biasanya banyak
diserap oleh orang-orang Islam yang notabene menjadi awal stigma pemikiran
mereka serta pemikiran seperti ini mayoritas sama dengan alur pemikirannya
orang Yahudi serta ahli kitabnya.
Abdulah bin Ash, sendiri ketika menyisipkan cerita isra>i>lliyat
ini karena berpegang teguh kepada sabda Rosulullah, dimana pada suatu saat
Rosulullah memperbolehkan Abdullah untuk membaca al-Qur’an, Injil, Taurat
sekaligus.
Abdullah tetap optimis dengan hasil penafsirannya bahwa ketika
cerita isra>i>lliyat dijadikan penjelasan dalam kitab tafsirnya,
maka ini akan menjadi motivasi sendiri bagi dirinya, sebab dengan adanya cerita
isra>i>lliyat yang ia masukkan dalam kitab tafsirnya biasanya
berhubungan dengan dengan hadist-hadist nabi sehingga ia termotivasi untuk
menghafal semua hadist Rosulullah yang relevan dengan cerita-cerita isra>i>lliyat.[25]
Abu Hurairah sendiri sebagai guru besar Abdullah bin
Ash ini mengakui jika hafalan hadistnya Abdullah lebih banyak dari pada
dirinya, utamanya yang berhubungan dan mempunyai relevansi dengan cerita-cerita
dari ahli kitab Yahudi dan Nasrani.
d.
Abdullah
bin Salam (w. 43 H)
Abdullah bin
Salam pada awalnya adalah seorang Yahudi, bahkan dia adalah pemimpin bagi
mereka. Ia menjadi muslim ketika Rasulullah datang ke Madinah.
Abdullah bin Salam mempunyai posisi tertentu diantara ulama Ahli Kitab maupun
ulama Muslim, oleh karenanya dia menajdi sumber dalam menafsirkan al-Qur’an.
Imam Bukhari dengan dengan sanad bin Abu Waqas telah
meriwayatkan, bahwa Sa’ad berkata:
“Aku tidak pernah mendengar rasulullah berkata kepada seorang
pun yang berjalan di muka bumi ini, bahwasanya orang itu termasuk Ahli Surga,
kecuali Abdullah bin Salam”.
Nabi berkata tentang Abdullah bin Salam dan turunnya ayat al-Qur’an Surat
al-Ahqaf/46 ayat 10: 4
ö@è% óOçF÷uäur& bÎ)
tb%x.
ô`ÏB ÏYÏã
«!$# Länöxÿx.ur
¾ÏmÎ/
yÍkyur ÓÏd$x©
.`ÏiB
ûÓÍ_t/ @ÏäÂuó Î) 4n?tã ¾Ï&Î#÷VÏB
z`tB$t«sù
÷Län÷y9õ3tGó$#ur (
cÎ) ©!$# w Ïöku
tPöqs)ø9$# tûüÏHÍ>»©à9$#
ÇÊÉÈ
Artinya :
Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku, bagaimanakah
pendapatmu jika Al Quran itu datang dari sisi Allah, padahal kamu
mengingkarinya dan seorang saksi dari Bani Israil mengakui (kebenaran) yang
serupa dengan (yang tersebut dalam) Al Quran lalu dia beriman, sedang kamu
menyombongkan diri. Sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim".[26]
Yang dimaksud
dengan seorang saksi dari Bani Israil ialah Abdullah bin salam. ia menyatakan
keimanannya kepada nabi Muhammad s.a.w. setelah memperhatikan bahwa di antara
isi Al Quran ada yang sesuai dengan Taurat, seperti ketauhidan, janji dan
ancaman, kerasulan Muhammad s.a.w., adanya kehidupan akhirat dan sebagainya.[27]
2. Periode Tabi’in
a. Ka’ab Al-Akhbari
Cerita
isra>i>lliyat banyal yang diterima dan diriwayatkan oleh Ka’ab,
baik yang bersifat jelas asal
muasalnya ataupun yang tidak
jelas cerita tersebut berasal dari mana. Selain itu
sebagian dari cerita tersebut ada yang sesuai dengan
syariat Islam ada jaga yang hanya sebagai cerita tambahan yang bersifat tahayul.[28]
Ka’ab menrupakan shahabat yang
mempunyai sikap teguh pendirian dan luas
ilmu agamanya. Apabila jika mengikuti perjalanan hidupnya, Ka’ab merupakan tabbiin yang mempunyai hafalan
555 hadits, dia terkenal pada masa shahabat
Umar bin Khottab dan selama bertempat tinggal di Madinah bukan hanya cerita isra>i>lliyat
yang ia riwayatkan akan tetapi cerita dari Nasrani, atau yang biasa disebut Nasraniyyat juga
banyak diriwayatkan oleh Ka’ab.[29]
Banyak tokoh-tokoh yang lain, seperti Muawiyah, Muslim
bin Hujjaj, Abu Hurairah dan lain sebagainya mengatakan bahwa hafalan hadist
dan periwayatan cerita isra>i>lliyat dan nasraniyyatnya Ka’ab bin
Al-Akhbari lebih banyak dari pada shahabat-shahabat yang lain, selain
kedhabitan dan kefasihan Ka’ab, kemahirannya dalam membawakan cerita dan menuliskan
dalam buku bisa mempengaruhi
terhadap orang yang mendengar dan yang membaca buku karangannya.
Ibn Taimiyah sendiri sebagai pakar ilmu
tafsir menjelaskan bahwa cerita isra>i>lliyat
dan nasraniyyat yang diriwayatkan oleh Ka’ab memang layak dibaca sebab sebagian besar cerita tersebut
sesuai dengan syariat Islam dan menjadi penguat serta dorongan dalam menjalankan
syariat Islam.
b.
Wahab Bin
Munabbah
Sama
halnya dengan Ka’ab, wahab bin Munabbah juga meriwayatkan cerita-cerita isra>i>lliyat
yang lumayan banyak, dimana cerita tersebut ada yang shohih an ada yang dhoif. Dalam proses periwayatan cerita
tersebut, biasanya wahab menjelaskan
terlebih dahulu bahwa cerita yang akan ia sampaikan apakah bersifat
cerita shohih atau bersifat cerita yang dhoif, agar kemudian sang pembaca atau yang mendengarkan
tidak terkecoh dengan cerita-cerita tersebut.[30]
Dengan
proses tersebut tidak heran kemudian kalau Wahab diberi gelar pemberani dan jujur oleh sahahabat-shahabat
yang lain karena dampak dari cerita- cerita
yang ia riwayatkan.
- Periode pengikut Tabi’in
Pada periode pengikut Tabi’in tokoh-tokohnya tidak berbeda
jauh dengan tokoh-tokoh isra>i>lliyat pada masa Tabi’in sebab tokoh-tokoh
pada masa pengikut Tabi’in ini kebayakan murid-murid dari tokoh-tokoh pada masa
Tabi’in sehingga pemikirannya dan
periwayatannya hampir sama, hanya perbedaannya terletak pada kehati-hatian
dalam menilai keshahihan dan kedhabitan dalam menerima dan meriwayatkan sebuah
cerita. Tokoh-tokoh di periode pengikut Tabi’in ini lebih mengutamakan
kuantitas periwayatan dari pada dari
pada kualitas dari cerita isra>i>lliyat yang diriwayatkan, padahal
tokoh-tokoh diperiode sebelum-sebelumnya seperti periode Tabi’in dan periode
shahabat lebih mementingkan kualitas dari cerita tersebut. Tokoh –tokoh pada
periode pengikut Tabi’in ini diantaranya;[31]
a.
Ibn Jurait (w 150 H)
b. Muhammad bin Jarir at-Thabari
BAB
III
KESIMPULAN
Dari
pembahasan diatas dapat diambil beberapa kesimpulan, diantaranya:
1.
Proses
masuknya cerita-cerita isra>i>lliyat dalam penafsiran al-Qur’an berakar
pada adanya hubungan antara suku-suku arab dengan bangsa Yahudi yang telah ada sejak
masa sebelum nabi Muhammad SAW diutus menjadi nabi. proses tersebut berlanjut hingga
masa hijrah, dan masa penyebaran Islam di Madinah, sampai pada periode sahabat
dan tabi’in
2.
Isra>i>lliyat
dapat dikatakan shahih apabila sanadnya berurutan lengkap serta para perawinya
bisa disebut shahih. ISRAILIYAT yang Dhaiif, sanadnya tidak bersambung
atau tidak berurutan lengkap dan perawinya dhaif.
3.
berdasarkan
kesesuaiannya dengan syari’at Islam, isra>i>lliyat terbagi menjadi
3 bagian. Yaitu, sesuai dengan Syariat Islam, bertentangan dengan Syariat
Islam, cerita yang didiamkan (tidak ada yang menolak dan tidak ada yang
memperkuat untuk syari’at Islam).
4.
Para ulama’
memberikan pendapat yang berbeda tentang isra>i>lliyat. Akan
tetapi pendapat Ibn Kastir cukup mewaikili semua pandangan ula, dengan 3 (tiga
kriteria yang dia tetapkan untuk menghukumi cerita-cerita isra>i>lliyat.
5.
Pada
masing-masing periode perkembangan Islam, hampir kesemuanya terdapat para tokoh
isra>i>lliyat. Seperti pada masa sahabat yang diwakili oleh Abu
Hurairah, Ibn Abbas, dan Abdullah bin Umar bin Ash dan Abdullah bin Salam.
Periode tabi’in yaitu, Ka’ab al- Akbari dan Wahab Ibn Munabbah.
DAFTAR
PUSTAKA
al-Qattan, Manna Khalil, Maba>hith fi ulu>m al-Qur’a>n terj. Mudzakir (Bogor : Litera Antar Nusa, 2007) hal
Kastir, Ibn, Umdah al-Tafsi>r ‘An al-Hafiz
(Mesir: Dar Al-Maarif,1956)
al-Usairy, Ahmad, Sejarah Islam sejak zaman nabi Adam
hingga Abad XX (Jakarta: Akbart, 2003)
Muchlas, Imam dan Masyhud Sm, Al-Qur’an berbicara
tentang Kristen (tt: Pustaka Da’i, 2001)
Anwar, Abu, Ulumul Qur’an sebuah pengantar (Pekan
Baru: Amzah,2003)
Al-Dzahabi, Muhammmad Husien, isra>i>lliyat fi>
al-Tafsir wa al-Hadist (Kairo: Majma’ Buhust al-Islamiyah,1971)
Al-Dzahabi, Muhammmad Husien, isra>i>lliyat fi>
al-Tafsir wa al-Hadist terj. Didin HAfifuddin (Jakarta : Pustaka
Litera Antar Nusa, 1993)
Syadali, H. Ahmad dan Rofi’I, Ahmad, Ulumul Qur’an
Jilid I (Bandung: Pustaka Setia,1997)
Muhammad, Muhammad Abdurrahman, al-Tafsi>r
al-Nabawi: Khasshaishuhu wa Mashadiruhu terj. Rosihun Anwar (Bandung:
Pustaka Setia, 1999)
[1] Manna
Khalil al-Qattan, Maba>hith fi ulu>m al-Qur’a>n
terj. Mudzakir (Bogor : Litera Antar Nusa, 2007) 491.
[3] Ibid,
492
[4] Hasan
Mu’arif Anbary, et. al. “isra>i>lliyat” Suplemen Ensiklopedi
Islam, Vol 1. ed Abdul Azis Dahlan, et. al (Jakarta, Icthiar Baru Van Hoeve,2001)25.
lihat juga, Ibnu Kastir, Umdah al-Tafsir ‘An al-Hafiz (Mesir: Dar al-Maarif,1956)
hal 38
[5]
Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam sejak zaman nabi Adam hingga Abad XX (Jakarta:
Akbart, 2003) hal 84
[6]
Imam Muchlas dan Masyhud Sm, al-Qur’an berbicara tentang Kristen (tt:
Pustaka Da’i, 2001)hal; 30
[7]
Abu Anwar, Ulumul Qur’an sebuah pengantar (Pekan Baru: Amzah,2003), hal
21
[8]
Husien al-Dzahabi, isra>i>lliyat fi>> al-Tafsir wa al-Hadi>st
(Kairo: Majma’ Buhust al-Islamiyah,1971) hal 102
[9]
Abu Anwar, Ulumul Qur’an, hal 27
[10] H.
Ahmad Syadali dan H. Ahmad Rofi’I, Ulumul Qur’an Jilid I (Bandung:
Pustaka Setia,1997) hal 238
[11]
Anwar, Ulumul Qur’an, hal 28
[12]
Syadali, Ulumul Qur’an, 246
[13]. Muhammad
Abdurrahman Muhammad, al-Tafsir al-Nabawi: Khasshaishuhu wa Mashadiruhu
terj. Rosihun Anwar (Bandung: Pustaka Setia, 1999) hal 368
[14]
Syadily, Ulumul Qur’an, hal 259
[15] al-Dzahabi.
Israi<lliyat, hal 60
[16]
Ibid, 263
[17]
Ibid, 265
[18]
Syadali, Ulumul Qur’an, Hal 269
[19] al-Dzahabi,
al-isra>i>lliyat fi>> al-Tafsir, Hal 93
[20]
Bukhari, Shahi>h al-Bukhari, Hadis Nomor 3461
[21] al-Dzahabi,
al-isra>i>lliyat fi> al-Tafsi>r, hal 99
[22]
Ibid, hal 104-105
[23] Abdurrahman
Muhammad, al-Tafsi>r al-Nabawi, hal 81
[24] Bukhari,
Sha>hih al-Bukhari, Hadis Nomor 3461
[25] al-Dzahabi,
al-isra>i>lliyat fi>>> al-Tafsir, hal 111-115
[26]
________, al-Qur’an dan Tafsirnya
Jilid X Juz (Yogyakarta :PT Dana
Bhakti Wakaf, 1995), hal 45
[27]
Ibid
[28]
Ibid, hal 127
[29] Ibnu
Taimiyah, Minhaj As-Sunnah, hal 34
[30]
Husain al-Dzahabi, al-isra>i>lliyat, hal 141-143
[31]
ibid
0 komentar:
Posting Komentar